Selasa, 22 Oktober 2013

KARAKTER MURID-MURID YESUS



karakter murid murid Tuhan Yesus :
oleh; Pdt. Lucky Rumopa. STh.

1. Simon Petrus

Pengantar
Nama lahir -asli- Simon Petrus adalah Simon. Kata Petrus
ditambahkan kemudian oleh Tuhan Yesus. Kata Petrus adalah
terjemahan Yunani dari kata Kefa -bhs Aram- yang artinya
batu padas, batu karang. Simon Petrus dilahirkan di Betasaida,
Yoh 1:44, Ayahnya bernama Yona atau Yunus/Yohanes, Mat 16:17,
Yoh 1:42, 21:15. Saudara kandungnya adalah Andreas. Mat 10:2. Simon Petrus, Yakobus dan Yohanes termasuk murid yang “terdekat” dengan Tuhan Yesus, Mrk 5:37, 9:2, 14:33.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Mungkin sekali Simon Petrus pindah dan tinggal serta bekerja sebagai nelayan di Kapernaum. Di tempat ini, Simon Petrus dan Andreas, berjumpa dengan Yesus, Mrk 1:29; Luk 4:38. Ketika Simon Petrus menjadi pengikut atau murid Tuhan Yesus, ia meninggalkan beberapa hal, antara lain:

jala atau penunjang kehidupannya

mata pencaharian

pekerjaannya dan penghasilan untuk seluruh anggota keluarga

orang tua dan saudara

mertua yang sakit-sakitan

Simon Petrus adalah murid Tuhan Yesus yang paling banyak mengungkapkan dirinya daripada murid-murid lain. Simon Petrus memiliki sifat alamiah yang amat menarik -ditambah anugerah rohani dan pendidikan yang ia terima dari Tuhan Yesus- membuat banyak orang terpikat. Dalam berbicara dan bertindak, Simon Petrus melakukan dengan satu cara yang khusus mengungkapkan sifatnya. Ia tidak pernah meniru gaya dan kepribadian orang lain. Keaslian yang dimilikinya merupakan salah satu modal dalam kepemimpinannya yang sejati. Ia adalah seorang yang tidak berpikir dalam-dalam, berhati ramah, suka menurut kata hati dan bertindak cepat, yang dikuasai oleh dorongan pada saat itu juga. Hal-hal tersebut dapat dilihat dalam Alkitab, antara lain:

Mencoba -dan sedikit berhasil- berjalan di atas air untuk mendapati Tuhan Yesus

Ingin mendirikan tiga kemah di atas Gunung waktu Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung- agar Yesus, Musa, Elia dan dirinya tinggal di tempat itu.

Tidak mau membiarkan Tuhan Yesus membasuh kakinya

Menyombongkan kesetiaannya

Berani membela Tuhan Yesus dengan padang, dan memotong salah satu prajurit -bernama Malkhus- yang menangkap Tuhan Yesus di Getsemani

Mengabaikan Yohanes yang ragu-ragu, dan dengan berani masuk ke dalam kuburan Yesus

Ketika mengetahui Tuhan Yesus berdiri dipantai, ia menggenakan pakaiannya, lalu terjun ke danau dan berenang ke tepi -karena tidak sabar menunggu perahu yang sarat dengan ikan- untuk bertemu Yesus.

Setelah Pentakosta

Setelah kebangkitan Yesus, Ia menyatakan Diri-Nya secara khusus kepada Petrus. Di samping itu, Tuhan Yesus membutuhkan waktu tersendiri memulihkan simon Petrus. Pemulihan ini perlu karena Simon Petrus pernah menyangkal Tuhan Yesus, Yoh 21:15-19. Pemulihan tersebut nyata dalam Surat 1 dan Petrus.

Perubahan besar dalam diri Simon Petrus terjadi ketika Pentakosta. Ia berdiri mewakili para murid dan berkhotbah kepada orang-orang di Yerusalem, Kisah 2:14-40. Pada perkembangan kemudian, Simon Petrus menjadi salah satu pemimpin Gereja Mula-mula.

Dalam kurun waktu yang cukup lama, Ia berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan Jemaat atau Gereja Mula-mula. Sejarah -dan juga tradisi- Gereja menunjukkan bahwa Simon Petrus melakukan pelayanan sampai masa tuanya -sampai akhir hayatnya- di Roma. Di kota itu -Roma- ia menjadi Martir, dengan cara disalibkan kepala ke bawah oleh Kaisar Nero, antara thn 64-67 Ms.

Andreas

Pengantar

Dalam bahasa Yunani, Andreas artinya si pria. Saudara kandungnya adalah Simon Petrus. Mereka berasal dari Betasida, Yoh 1:44. Sebelum menjadi murid Tuhan Yesus, Andreas adalah murid Yohanes Pembaptis, Yoh 1:40. Andreas dan Simon Petrus termasuk murid-murid pertama yang dipanggil oleh Tuhan Yesus, Mrk 1:16-18; Kis 1:13.

Selama Melayani bersama Tuhan Yesus

Andreas pertama kali dikenal sebagai murid Yohanes Pembaptis. Hal ini menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan nilai-nilai rohani. Ia menanggapi apa yang diajarkan oleh Yohanes Pembaptis tentang pertobatan, Kerajaan Allah dan Penghakiman terakhir. Para Sinoptis -Matius, Markus, Lukas- tidak menceritakan pertemuan pertama antara Andreas dan Tuhan Yesus. Akan tetapi, Yohanes menghargai hal tersebut sebagai suatu kenangan yang paling kudus.

Alkitab menunjukkan bahwa, ketika Yohanes Pembaptis menunjuk bahwa Yesus sebagai Anak Domba Allah yang menanggung dosa manusia, Andreas dan Yohanes berpaling untuk mengikut Dia. Pertemuan Andreas dengan Tuhan Yesus begitu penting bagi, sehingga ia -selalu- memberitahukan kepada orang lain, tentang siapa Yesus, dan membawanya kepada Dia.

Membawa saudaranya sendiri Simon Petrus, kepada Tuhan Yesus. “Andreas mula-mula bertemu Simon, saudaranya, dan ia berkata kepadanya, “Kami telah menemukan Mesias, artinya Kristus”. Ia membawanya kepada Yesus, Yoh 1:41”

Membawa orang-orang Yunani -yang menanyakan siapa Yesus- kepada Tuhan Yesus, Mrk 13:3

Membawa seorang anak laki-laki yang mempunyai roti jelai dan ikan kepada Tuhan Yesus, sehingga Ia dapat memberi makan 5000 orang lebih, Yoh 6:8-9

Setelah Pentakosta

Andreas bukan saja pengikut Kristus yang pertama, ia juga pekerja Kristen yang pertama, dialah yang pertama-tama membawa orang lain kepada Tuhan Yesus. Adreaslah yang menyampaikan kepada orang lain mengenai Kristus, dan kemudian membawanya kepada-Nya, band. Yoh 1:42,12:21, 22 . Sejarah -dan juga tradisi- Gereja Mula-mula mencatat bahwa, Andreas memberitakan Injil sampai di Rusia Selatan dan Semenanjung Balkan. Andreas mati dengan cara disalibkan di Akhaya-Patras-Yunani. Andreas juga dihubungkan sengan Kitab Apokrifa: Acta Andreas.

Yakobus, anak Zebedeus

Pengantar

Nama Yakobus, -Iakobos, adalah bentuk Yunani dari kata bhs Ibrani Ya’qov- berarti si pegang tumit, penipu. Kemudian diberi makna baru yaitu, Tuhan melindungi. Yakobus dan adiknya Yohanes, mereka adalah saudara sepupu dari Yesus, Yoh 19:25, orang tua mereka adalah Zebedeus dan Salome, Mat 27:56, Mrk 15:40. Sebelum menjadi murid Tuhan Yesus, Yakobus dan Yohanes serta ayah mereka, bekerja sebagai nelayan, Luk 5:10-11. Ia bersama Yohanes dan juga Simon Petrus menjadi murid paling dekat dengan Tuhan Yesus.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Yakobus termasuk murid Tuhan Yesus yang sangat bersemangat dan ambisius. Bersama Yohanes, mereka berani mengungkapkan pikiran yang cenderung mengkesampingkan dan merendahkan orang lain di sekitarnya -sehingga diberi gelar anak-anak guruh atau Boanerges- hadapan Tuhan Yesus, antara lain:

duduk di sisi Yesus, jika kelak memerintah sebagai raja, Mrk 10:35-45
meminta izin kepada Yesus, agar mereka menyuruh api turun dari langit, Luk 9:51-56
Yakobus -juga Simon Petrus dan Yohanes- menjadi saksi penting dalam pelayanan Tuhan Yesus, al: ketika kebangkitan anak Yairus, Yesus dimuliakan -dan perubahan wajah Yesus- di atas bukit, menjelang kematian Yesus di salib
Walaupun Yakobus -juga Simon Petrus dan Yohanes- termasuk murid yang dekat dengan Tuhan Yesus, ia tetap mempunyai tempramen yang ber “api-api” dan kasar.

Setelah Pentakosta

Raja Herodes Agripa I, pada antara thn 41-44 M, Kis12:2, menangkap Yakobus dan dibunuh dengan pedang -dipancung- sampai mati

Yohanes, anak Zebedeus

Pengantar

Yohanes -Yunani, Ioanes, dari kata Ibrani, Yeho-nah,Yohanan:secara harfiah berarti Burung Merpati- adalah nama yang umum pada masa PB. Yohanes artinya, YHWH memberikan karunia, TUHAN Allah adalah berkat artau Berkat dari TUHAN Allah. Keluarga Zebedeus -berasal dari Galilea- termasuk keluarga yang cukup kaya dan terpandang. Ia memiliki armada kapal dan beberapa asisten yang menolongnya dalam bisnis perikanan, Mrk 1:19-20. Ia anak bungsu dari pasangan Zebedeus dan Salome. Bersama dengan Yakobus -kakaknya- disebut juga atau mendapat gelar Anak-anak Guruh, Mrk 3:17.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Ketika dipanggil Tuhan Yesus, Yohanes -ia menjadi murid Tuhan Yesus yang paling muda- mungkin baru meninggalkan masa remajanya atau berada dalam usia dewasa dini. Ini menunjukkan bahwa ia belum mencapai kedewasaan kepribadian. Hal tersebut tercermin pada sifat-sifatnya, yang menunjukkan bahwa :

sangat pemalu dan segan untuk bicara mengenai diri sendiri
tidak mau menonjokan diri, termasuk tidak pernah menyebut namanya dalam Injil, tetapi memakai kategori orang orang ketiga atau menyembunyikan identitasnya dengan satu ungkapan seperti “Murid Yang Dikasihi Yesus”
mempunyai sifat yang tidak toleran, cepat tersinggung terhadap hal-hal yang ia anggap tidak benar
sangat keras untuk melawan orang-orang yang bertantangan dengan pemahamannya
bersama Yakobus diberi gelar Boarnerges atau anak-anak guruh, mungkin karena mereka orang Galilea yang penuh vitalitas dan bersegera, kurang mengindahkan disiplin dan kadang-kadang salah arah, Luk 9:49

Dengan segala kepribadian -kekurangan dan kelebi-hannya- Yohanes dipanggil Tuhan Yesus untuk menjadi salah satu murid-Nya. Sifat-sifatnya itu, kadang muncul ketika melayani bersama Tuhan Yesus. Hal tersebut nampak dalam beberapa peristiwa, antara lain1: reaksi yang keras -yang datang dari watak yang keras dan gamblang- terhadap penduduk Samaria yang menolak rombongan Yesus melewati desa mereka, Luk 9:54

Yohanes -dan juga Yakobus- mempunyai ambisi karena nalar yang tidak benar tentang citra Kerajaan Allah, yang akan dibangun atau dibentuk oleh Yesus

dengan keakuan yang mengambang, disertai kesediaan untuk menderita tanpa pamrih, mencolok -atas dorongan ibu mereka, Mat20:20- dalam permintaan yang diajukan kepada Tuhan Yesus, supaya dirinya -bersama Yakobus- diizinkan menduduki tempat yang khas dan terhormat, bila kelak Yesus duduk di takhta Kerajaan-Nya, Mrk 10:27

Yohanes -juga Simon Petrus dan Yakobus- menjadi saksi penting dalam pelayanan Tuhan Yesus, al ketika kebangkitan anak Yairus, Mrk 5:37; Yesus dimuliakan -dan perubahan wajah Yesus- di atas bukit, Mrk 9:2; peristiwa Getsemani menjelang kematian Yesus di salib, Mrk 14:33; dan juga mempersiapkan Perjamuan Paskah Terakhir, Luk 22:8

Setelah Pentakosta

Setelah pulang dari pembuangan di pulau Patmos, Yohanes melayani dan memimpin jemaat -sampai masa tua dan meninggal- di Efesus. Tradisi mengata-kan bahwa ia mati dibunuh pada masa pemerintahan kaisar Traianus, pada awal abad II Masehi. Tuhan Yesus merubah Yohanes menjadi Rasul Kasih. Ia menunjukkan manifestasi kasih Tuhan Yesus dengan tepat. Ia mengenal kasih Yesus dengan sesungguhnya. Dalam semua tulisan atau surat-suratnya -Injil Yohanes, 1, 2, 3 Yohanes, Wahyu- Yohanes memakai ungkapan Kasih sebanyak 80 kali. Yohanes menunjukkan pengalaman Kasih Tuhan Yesus tersebut melalui karya-karyanya seperti termuat dalam Alkitab:

Tuhan Allah adalah Kasih, Yoh 15:10

Tuhan Allah mengasihi Anak-Nya, Yoh 10:17, 17:23-26

Tuhan Allah mengasihi murid-murid Yesus, Yoh 16:27, 17:23

Tuhan Allah mengasihi manusia, Yoh 3:16

Tuhan Allah dikasihi oleh Yesus, Yoh 14:31

Tuhan Allah mengasihi setiap pribadi secara

khusus, Yoh 11:5, 36, 13:23

Kasih Tuhan Allah bersifat umum, Yoh 13:1-34, 14:21, 15:9-10

Yesus mengharapkan manusia untuk mengasihi-Nya dan Bapa-Nya, Yoh 8:42, 14:23

Yesus mengharapkan semua manusia saling mengasihi, Yoh 13:34-35, 15:12-13

Filipus

Pengantar

Filipus -bhs Yunani, Philippos artinya, sahabat kuda- mungkin masih keturunan Yunani, atau mempunyai hubungan erat dengan Yunani. Walaupun mempunyai namaYunani, tetapi tidak mempunyai kecerdasan Yunani.Yudea. Filipus adalah murid yang sederhana, lambat untuk mengambil keputusan, enggan bertindak dengan inisiatif sendiri, serta mempunyai pemahaman yang dangkal tentang Firman Tuhan. Ia teliti dan hampir seperti robot. Apa yang ia terima keluar apa adanya.Pikirannya kurang cepat bereaksi terhadap sesuatu yang diperhadapkan kepadanya. Filipus lemah dalam imajinasi spiritual, intuitif, serta pemahaman dalam menanggung konsekuensi mengikuti Kristus Filipus lahir di Betsaida, Yoh 1:44, -berasal dari kota yang sama dengan Petrus dan Andreas- sebuah kota kecil di

Selama Melayani Bersama Yesus

Tuhan Yesus pernah mentest Filipus dalam Yoh 6:5, Ia bertanya kepada Filipus, “Dimanakah kita akan mem-beli roti, supaya orang banyak ini dapat makan?. Tuhan Yesus lakukan hal tersebut untuk mengetahui imannya, dan membuktikan pemahamannya mengenai DiriNya selama ia mengikutiNya. Filipus ternyata gagal dalam “ujian” ini, karena ia memakai perhitungan dalam iman, Yoh 6:7. Ia terlalu berhati-hati dengan sikapnya yang praktis, menjadi bimbang, karena terlalu banyak perhitungan.Pada akhirnya, Filipus menjadi bagian dari rencana Tuhan Yesus mengadakan mujizat memberi makan 5000 orang, agar ia mengerti sisi Ilahi dari misi Kristus. Filipus juga ternyata seorang “pemandu” yang tidak dapat memimpin. Hal itu nyata ketika ia gagal memperkenalkan orang-orang Yunani kepada Yesus, Yoh12:20-22, karena mungkin ia kuatir Yesus menolak orang-orang tersebut. Karena itu, ia melimpahkan kepada Andreas. Padahal, mungkin saja orang-orang Yunani tersebut datang kepadanya karena Filipus mempunyai hubungan keyunaniannya berdasarkan namanya. Yoh14:7-12, menunjukkan bahwa Filipus telah sekian lama mengikuti Kristus tetapi tidak mengenal Kristus dengan sebenarnya

Setelah Pentakosta

Sesudah kenaikkan Tuhan Yesus ke surga dan setelah Filipus menerima karunia Roh Kudus, Filipus melakukan pelayanan pemberitaan Injil di Asia Kecil, sekarang wilayah Turki. Dalam pelayanannya tersebut, ia mati shahid.

Natanael/Bartolomeus

Pengantar

Nama Natanael, berarti “pemberian Allah”, nama lainnya adalah, Bartolomeus artinya “anak Tolmai” atau putra dari Tolmai, Mat 10:3; Yoh 1:45. Natanael/ Bartolomeus berasal dari Kana di Galilea, Yoh 21:2. Filipus yang membawa atau memperkenalkan Natanael/Bartolomeus kepada Tuhan Yesus.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Dari semua murid Tuhan Yesus, Natanael adalah satu-satunya yang ragu untuk mengikuti Yesus. Ia tidak yakin pada ajakan Filipus untuk mengikuti Tuhan Yesus. Natanael/Bartolomeus terkena pengaruh prasangka. Itulah yang menjadikan ia ragu-ragu. Ketika Filipus berkata kepadanmya, “Kami telah menemukan Dia yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazareth”, Yoh 1:45. Natanael menjawab dengan kritis, “Mungkinkah sesuatu yang baik dari Nazareth?”2

Namun hal yang baik pada Natanael, adalah ia tidak membiarkan rasa sangsinya menghalangi untuk mendengarkan bukti yang dikemukakan Filipus, bahwa ia bertemu Mesias. Dalam menanggapi jawaban singkat Filipus, Natanael pergi bersamanya menemui Yesus. Ketika melihat Natanael datang, Yesus berseru, “Lihat inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya”. Tuhan Yesus menemukan dalam diri Natanael suatu dasar yang kokoh untuk membangun hidup dan kehidupan spiritual serta iman. Natanael bererpandangan terbuka, jujur dan tanpa kepalsuan, merasa heran bahwa Yesus berani menyatakan pendapat tentang sifatnya, padahal mereka belum pernah bertemu, sehingga ia berkata, “Bagaimana Engkau mengenal aku?” Dalam batasan itu Natanael mempunyai pengenalan dan pengakuan terhadap Yesus sebagai “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel”

Setelah Pentakosta

Menurut tradisi sejarah Gereja, Natanael melayani atau melayani di Mesopotamia, Likoania, dan Armenia. Dalam pelayanannya itu, ia mati sahid dengan dikuliti hidup-hidup.

Tomas

Pengantar

Tomas, artinya kembar, merupakan bentuk Yunani, Thoma, dari kata bahasa Aram/Ibrani To’am. Warga Gereja Mula-mula yang berbicara dalam bahasa Yunani, menyapa dengan sebutan Didymos, atau Didimus.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Injil Matius, Markus, Lukas hanya mencantumkan nama Tomas secara sepintas, atau sekedar menulis -dan tanpa komentar yang banyak- sebagai satu dari antara dua belas murid Tuhan Yesus, lihat Mat 10:2-4; Mrk 3:16-19; Luk 6:14-16; Kisah 1:13. Injil Yohanes memberikan catatan tentang “peranan” Tomas ketika bersama dengan Tuhan Yesus, yaitu;

ketika Tuhan Yesus akan berangkat ke Yudea un-tuk membangkitkan Lazarus. Pada saat itu para murid mengingatkan Tuhan Yesus bahwa di tempat itu Ia nyaris dibunuh orang. Namun Yesus tetap menuju Yudea. Kemudian Tomas berkata kepada murid-murid yang lain, “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia”, Yoh 11:16

ia mengaku tidak memahami ke mana Tuhan Yesus hendak pergi, ketika Ia mempersiapkan murid-muid perihal kepergian-Nya yang akan datang, Yoh 14:5

ia di sebut juga Tomas yang tidak percaya, karena ketidakpercayaannya bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit. Ia tidak ada ketika Tuhan Yesus menampak-kan kepada murid-murid, Yoh 20:24; ia membutuhkan bukti riil yang dapat diraba mengenai kebangkitan itu. Seminggu kemudian Tuhan Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid termasuk Tomas untuk menyaksikan kenyataan -bukti-bukti riil tentang kebangkitan- tubuh-Nya. Pada saat inilah Tomas mengakui Yesus sebagai, Tuhan-ku dan Allah-ku, Yoh 20:28.

Setelah Pentakosta

Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit merubah dirinya. Perjumpaan tersebut menjadikan menghasilkan iman yang melenyapkan keragu-raguan dalam dirinya, membangkitkan semangat hidupnya serta tekad kuat berkarya bagi kemuliaan dan Kerajaan Allah. Hal itu nampak dari catatan Sejarah Gerejah oleh Eusebius pada abad ke IV:

menjadi perintis Pekabaran Injil di Kerajan Partia

pertama kali membawa berita Injil ke India -khusus-nya di Malabar dan Tranvancore-India Selatan- sehingga lahir Gereja Mar Thoma, yang berkembang hingga sekarang, dan menghasilkan Pemberita Injil yang membawa Injil ke Indonesia pada abad V di Barus, pantai barat Sumatera Utara

Matius

Pengantar

Matius adalah orang Galilea yang lahir di Kapernaum dengan nama Lewi, artinya bersama-sama. Ayahnya bernama Alfeus, dan ibunya adalah Maria, yang bukan ibu Yesus. Keluarganya adalah pemeluk Yudaisme -agama Yahudi- yang taat dan fanatik. Dan merupakan orang-orang yang sangat nasionalis yang mempunyai pengabdian yang tinggi kepada Tuhan, serta mencintai keberadaan mereka sebagai orang Yahudi sejati. Walaupun mengecewakan orang tuanya, Matius bekerja sebagai pemungut cukai -bahkan menjadi kepala kantor pajak atau bea cukai- yang bekerja untuk pemerintah Romawi. Bekerja sebagai pemungut cukai sangat tidak sukai oleh orang Yahudi, sehingga disamakan dengan orang-orang berdosa.

Selama Melayani Bersama Yesus

Ketika Tuhan Yesus di Kapernaum dan dalam perjalanan menuju pantai, Ia melihat Lewi/Matius sedang berada di rumah -pos pemeriksaan bea atau pajak- cukai. Yesus berkat kepadanya, “Ikutlah Aku!”, Luk 5:27,28. Seketika itu juga, Matius meninggalkan pekerjaannya dan dosa penipuannya.

Setelah mengenal Tuhan Yesus, ia berganti nama menjadi Matius, -bentuk Yunani dari bhs Ibrani, Mattai, artinya karunia Tuhan- Allah-

Setelah Pentakosta

Matius melakukan pekerjaan pelayanan dan pekaba-ran Injil di Etiophia, Afrika. Matius menulis Injil yang khusus ditujukan kepada orang-orang Yahudi. Sebagai mantan kepala kantor pajak, Matius mempunyai kemampaun -terbiasa- dengan pekerjaan dan laporan yang mendetail dan sistimatis. Kemampuan tersebut ia gunakan dalam menulis ulang semua informasi tentang tentang Tuhan Yesus. Hasil karya tersebut, yang dikenal dalam Injil Matius. Roh Kudus memakai Matius sehingga ia mampu menulis kembali -hampir- semua catatan penting tentang Yesus -Kelahiran-Jumat Agung-Paskah-Pesan Terakhir sebelum Ia naik ke Surga, yang kemudian di kenal sebagai Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus- ada dalam Injil Matius.

Yakobus, anak Alfeus

Pengantar

Yakobus, -untuk membedakan dengan Yakobus Anak Zebedeus, saudara Yohanes- ia disebut sebagai Yakobus Anak Alfeus. Yakobus dan Matius merupakan anak dari Alfeus dan bernama Maria, Mrk 15:40. Ia dikenal sebagai Yakobus -saja- serta murid yang biasa-bisasa saja. Dalam Injil Markus, ia disebut Yakobus Muda atau Yakobus Kecil. Hal itu disebabkan karena postur tubuhnya kecil, atau usianya yang lebih muda dari Yakobus Anak Zebedeus, saudara Yohanes. Sebelum menjadi murid Tuhan Yesus, Yakobus Anak Alfeus bekerja sebagai seorang pemungut cukai, yang bertugas sebagai kolektor pajak, tanpa paksaan kepada rakyat maupun para pedagang.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Tidak ada penjelasan yang akurat yang menunjukkan alasan Tuhan Yesus memilih Yakobus Anak Alfeus sebagai salah satu murid-Nya. Yakobus Anak Alfeus adalah orang tidak pernah menonjolkan diri. Dari semua murid-murid, Yakobus Anak Alfeus, yang tidak tidak pernah menggelisahkan Tuhan Yesus. Ia tidak pernah kembali pada kebiasaan buruknya, ragu-ragu atau mempunyai kesalah pengertian. Alasan-alasan Tuhan Yesus memilih Yakobus Anak Alfeus karena sebagai murid, mungkin karena:

ia sangat sederhana, tidak kuatir tentang apapun juga

tidak menonjolkan identitas pribadinya

mengutamakan karya Tuhan Allah di didunia

ia bekerja dengan penuh pengabdian, kemanapun ia diutus ia melaksanakan tugasnya dengan baik

mempertahankan iman tanpa mengharapkan penghormatan dari siapapun juga

Setelah Pentaksosta

Nama Yakobus Anak Alfeus tertulis dalam sejarah pemberitaan Injil dan perkembangan Gereja Tuhan. Tetapi, tidak mencatat bagaimana ia melaksanakan tugas pelayanan tersebut. Yakobus Anak Alfeus menginjil sampai di Spanyol, Inggris dan Irlandia dan kemudian kembali ke Yeruslem. Akhir pelayanannya di Persia, dan mati terbunuh di tempat tersebut

Thadeus

Pengantar

Thadeus adalah murid Tuhan Yesus yang memiliki tiga nama sekaligus, yaitu Thadeus, Lebbaeus, dan nama aslinya yaitu Yudas. Yudas atau Yudah -yang berbeda dengan Yudas Iskariot- berarti Yehovah memimpin atau ia akan diakui.

Thadeus, Mark 3:18, adalah nama keluarganya. Lebbaeus, dari bhs Ibrani -Leb/Lev artinya hati, menggambarkan kehangatan dan karakter yang sungguh-sungguh; dalam bhs Yunani berarti hati anak-anak, orang yang berani. Ayahnya bernama Yakobus, orang yang berbeda dengan Yakobus Anak Zebedeus dan Yakobus Anak Alfeus.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Thadeus dikenal melui pertanyaan yang ia ajukan kepada Tuhan Yesus pada waktu Perjamuan Malam Terakhir, Yoh 14:18, 19:21. Alkitab tidak banyak memberi penjelasan mengenai Thadeus. Ia kurang menonjol di antara murid-murid, tetapi bukan berarti ia tidak atau kurang beriman. Tujuan pembicaraan Tuhan Yesus adalah murid-murid-Nya. Yesus berkat, bahwa Ia akan kembali untuk menyatakan Diri-Nya kepada mereka. Thadeus menjadi bingung, bagaimana Tuhan Yesus menyatakan Diri-Nya kepada mereka tanpa dilihat oleh orang lain. Sekalipun Ia dapat melakukannya, mengapa hanya memperlihatkan Diri-Nya kepada murid-murid saja, dan bukan kepada dunia. Sekalipun semua murid-murid bertanya-tanya, hanya Thadeus lah yang berani untuk bertanya atau bersuara. Ketika menjawab pertanyaan Thadeus, Tuhan Yesus tidak menjelaskan keberadaan-Nya secara nyata dan menyeluruh. Hal itu terjadi karena ia ingin mendapat penegertian dari dalam hati. Oleh sebab itu, jawaban Yesus menunjukkan, Yoh 14:23, bahwa pengabdian kepada Tuan hanya nyata melalui kasih. Thadeus memperlihatkan pengabdian dan ketekunan serta mencurakan hidup dan kehidup hanya untuk Tuhan Yesus. Thadeus yang memulai memanggil Yesus dengan nama TUHAN, Yoh 14:22.

Setelah Pentakosta

Thadeus, melakukan pelayanan pekabaran Injil si Syria, tepatnya di Edesa, di kemudaian hari, setelah kejatuhan Yerusalem, Edesa menjadi pusat Kekristenan dan Perkembangan Gereja Mula-mula. Thadeus dan sebagian murid-muridnya di tangkap di Schavarschar-Syria, dan dihukum mati.

Simon Orang Zelot

Pengantar

Alkitab tidak memberikan banyak keterangan atau Pengantar dari murid Tuhan Yesus ini. Untuk membe-dakan Simon ini dengan Simon Petrus, maka ia disebut Simon Orang Zelot, atau Simon Orang Kanaani. Zelot adalah suku atau kelompok pembrontak terhadap pemerintahan Romawi. Kanaani, berasal dari kata Kana yang berarti orang yang sangat rajin, giat dan sangat sangat bersemangat. Simon Orang Zelot adalah seorang pengikut -dan juga ditempa dan dididik - Yudas dari Gamala di Galilea. Yudas adalah -mungkin salah satu dari keturunan Makabeus- pemimpin pemberontak Yahudi melawan pemerintah Romawi. Kelompok ini adalah pengikut “Theokrasi” yang murni, religius dan fanatik. Gerakan ini disebut Zelot, band. Kis 5:37. Kelompok ini mendidik para anggotanya untuk berani mati demi kemandirian dan kemajuan bangsa dan agama Yahudi. Dan sangat merendahkan orang Romawi yang menjajah mereka.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Ada kemungkinan Simon Orang Zelot menjadi murid Tuhan Yesus dengan harapan, Ia menjadi pemimpin rovolusioner, yang mampu membebaskan Palestina secara revolusi. Tidak ada kegiatan yang begitu menonjol - selama menjadi murid Tuhan Yesus. Simon Orang Zelot meninggalkan organisasi politik kedudukan politik

Setelah Pentakosta,

Simon Orang Zelot menjadi penginjil di Mesir-Afrika, kemudian di Inggris, kemudian kembali ke Mesir. Setelah penginjilan di Mesir, Simon Orang Zelot bergabung dengan Tadeus di Syria dan Persia. Simon Orang Zelot dan Tadeus, mereka berdua disiksa, dira-jam batu, digergaji dan kemudian dibunuh dengan pedang di Persia.

Yudas Iskariot

Pengantar

Yudas -bentuk kata Yunani, yang diadaptasikan dari bahasa Ibrani, anak dari Simon Iskariot, Yoh 6:71, 13:26- artinya. Kariot, sebuah kota kecil, di Yudea. Iskariot, artinya berasal dari. Jadi Yudas Iskariot adalah Yudas yang berasal dari Kariot. Dalam daftar para murid, Yudas selalu disebutkan atau dicantumkan paling akhir, karena ia mengkhianati Yesus, Mat 10:4. Yudas mati bunuh diri, setelah ia melihat penderitaan yang dialami Yesus akibat pengkhianatannya.

Selama Melayani Bersama Tuhan Yesus

Setelah menjadi murid Tuhan Yesus, Yudas bertugas sebagai pemegang kas keuangan, Yoh 12:6, 13:29 Yudas sebenarnya bukanlah seorang pengkhianat, dalam arti bahwa ia berusaha melaksanakan kematian Yesus. Ia sama dengan murid-murid yang lain, mereka menanti nanti didirikannya Kerajaan Messias oleh Tuhan Yesus. Ia semakin tidak sabar, ketika Tuhan Yesus dari hari ke hari menunda pendirian Kerajaan Mesias.

-------------------

K E S I M P U L A N

Di dalam Kristus tidak ada klasifikasi tipe orang. Setiap orang mempunyai karakter khusus untuk bekerja bagi Kristus. Jika dalam sebuah kelompok di mana orang-orangnya mempunyai karakter yang saling bertolak belakang, tetapi bagi dan di dalam Kristus, tidak ada yang tidak mungkin didamaikan. TUHAN Allah mencintai keragamaan (1 Kor 4:6-13).

Dengan keragaman itu, hidup lebih bervariasi dan dinamis. Setiap orang percaya, mempunyai kewajiban untuk melayani Tuhan Yesus dengan melakukan yang terbaik bagi-Nya. Yaitu dengan tidak mengucilkan orang lain, dan menerima orang lain dengan penuh sukacita. Kalau seseorang yang sudah menjadi milik Kristus, ini berarti hidup dengan pengabdian, kasih dan semangat untuk bersaksi tentang Injil.

Rabu, 18 September 2013

"Ransel GMIM"


(sebuah potret perenungan,dalam ziarah pelayanan)
Oleh: Pdt.Lucky Rumopa STh

Tas ransel hampir disukai oleh semua kalangan dan umur. Selain karena modelnya yang beragam, kegunaannya termasuk multi fungsi. Apalagi dewasa ini ransel tidak lagi milik khusus kaum pria saja. Wanita pun mulai menggandrunginya. Belum lagi anak-anak sekolah yang paling suka memakai tas ransel. Karena semua buku-buku pelajaran ditambah alat tulis, atau laptop sekalipun bisa muat di dalamnya. Sayangnya ada penelitian yang justru menganggap tas ransel menyebabkan gangguan nyeri. Tetapi ada penelitian lagi yang mengatakan tas ransel baik untuk pertumbuhan tulang leher dan tulang belakang agar tubuh dapat lebih tegap. Hal ini tentu saja kembali pada bagaimana pemakaian yang tepat untuk tas ransel tersebut. Artinya tas ransel harus digunakan pada kedua bahu secara seimbang. Tetapi perhatikan juga lama pemakaian, jangan terus sepanjang hari ransel dipakai terus menerus. Tentu saja pasti nyeri. Oleh karenanya pemilihan dan pemakaian tas ransel harus sesuai baik untuk penggunaan dan sesuai juga dengan umur. Jadi, memilih tas untuk anak tidak sesederhana yang dikira. Pemilihannya harus cermat dan memerhatikan berbagai aspek, baik kenyamanan, kekuatan, keamanan, dan yang tak kalah penting, kesehatan.

Ransel juga dapat dikatakan “wadah” atau “pinggan” mengisi berbagai bekal dalam perjalanan “ziarah” hidup kita, Sebesar kebutuhan kita dalam perjalanan disesuaikan dengan ransel yang harus kita miliki. GMIM merupakan wadah organisasi gereja terbesar ke dua di Indonesia yang di perkirakan memiliki umat 815.678 ribu jiwa dari Total penduduk Sulawesi Utara sekitar 2,48 jt jiwa. Itu berarti sumbangsih GMIM dalam kontribusi pajak di daerah tergolong tinggi dan memainkan peranan penting dalam berbagai aspek pembangunan. GMIM dengan sistim organisasi “Sinodal” yang memiliki 103 pusat wilayah yang menyebar di Minahasa. Sejak berdiri pada tanggal 30 september 1934, menyatakan diri sebagai Gereja local yang hanya ada di tanah Minahasa, walaupun dengan memiliki kharakteristik yang esa, kudus, am dan rasuli, peranan GMIM bisa berimplementasi keluar dan bersifat “infklusif”. Dengan memiliki tenaga pendeta tetap 1.508 yang melayani di 886 jemaat yang tersebar di kabupaten kota, tentu memerlukan “ransel’ GMIM yang kuat dan tidak keropos dan mudah bocor! Bekal “wadah” GMIM yang dikemas sepanjang perjalanan melalui tata gereja yang telah mengalami beberapa kali revisi dari tahun ke tahun cukup membuktikan “ransel” GMIM memiliki kewibawaan “kelayakan”. Realitas yang pragmatis bila ransel-gmim sekedar pajangan dengan aksesorisnya dan menjadi symbol symbol teologis dan yang telah membawa kita pada segudang pertanyaan dari persoalan antara lain problematik UKIT yang dilematis, dan di tambah dengan intens kepemilikan yayasan di berbagai aras mengalami distorsi? Dan dapatkah kita menyebut ‘ransel” kita sedang digigit atau justru member diri digigit oleh kekuatan yang secara pragmatis dan sistimatis,yang pada akhirnya menghadirkan tikus tikus kecil mengerogoti peluang dan tantangan gereja dan kewibawaannya. Bekal demi bekal di dalam “ransel” kita telah letakan dengan berbagai pendekatan untuk memenuhi perjalanan kita (GMIM). Sebut saja laporan umum BPMS dalam SMST ke 25 ratatotok menyimpan bekal “usang’ dari persoalan intern yang secara institusi belum tersentuh. Ransel kita semakin padat oleh “jamur jamur” baru di bidang pengembangan sumber daya, dengan mematok investasi kas sinode ; 2 milliar untuk menghadirkan BPR yang akan direalisasikan pada semester I tahun 2013 tinggal kenangan sebuah aksesoris ransel saja! Ditambah dengan segudang pengembangan aset yang mengalami stagnan. Walau sering terasa nyeri dalam menanggung konsekwensi tetapi ransel-gmim memiliki daya tarik sendiri, maklum ini bukan sekedar “ransel” tetapi sebuah wadah yang turut memainkan peran penting dalam fenomena public yang memiliki dimensi ekonomi“politik” dalam konteks masyarakat.
Ransel tetap “ransel’ tapi isinya bisa berubah, maka ketika bekal di tahun 2007 harus diimplementasikan dengan berbagai tuntutan, maka sidang majelis sinode ke 75 tahun 2010 melihat ada hal hal krusial yang mesti di tinjau kembali. Legitimasi amanat SMTS di teling manado dan langoan memutuskan agar “adendum” Tata gereja tahun 2007 harus dilakukan sebagai bentuk penyulaman “ransel” yang lebih baik di pandang..Dalam pengertian istilah adendum adalah perubahan pasal pasal yang kurang jelas pada keputusan 2007, oleh sebab itu perubahan yang berlaku pada peristiwa siding istimewa Amurang harus di posisikan pada Peraturan TTG 2007. Sebab isi bisa diganti tetapi “ransel” kita adalah pergumulan bertahun yang di legalkan dalam Sidang resmi TTG 2007, isi bisa rusak dimakan cacing, tetapi ransel kita harus utuh inilah perjuangan “laskar kristen’

Istilah addendum merupakan istilah hukum yang lazim disebut dalam suatu pembuatan perjanjian. Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. (John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hal.11)..Pengertian Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu

Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. dengan demikian Adendum bukan peraturan "baru" tetapi mengikat pada pokok perjanjian,(TTG 2007) berdasarkan Pasal 1320 KUHP Perdata : “ransel” kita harus berhati hati menampung bekal “illegal” hal ini akan dan membuat wadah GMIM yang “kekar” tetapi memiliki tulang belakang keropos dan mudah patah, mengingat lembaga gereja juga dilindungi UU maka setidaknya apa yang kaisar punya kita berikan bagi kaisar dan apa yang menjadi bagian dari gereja di lakukan secara “konsekwen”. Wadah kita bukan sekedar isinya kuat tetapi bagaimana “ransel-gmim” kita ini bisa kuat menghadapi berbagai ancaman? Proyeksi dan prediksi kedepan,dapat membuat ransel kita bisa terkoyak koyak, sebab substansi “addendum” memberi alternative fungsi dalam pertumbuhan umat yang dapat mengembara dengan tuntutan yang ada, agar “wadah” kita berjalan tegak sesuai amanat agung Yesus kristus sebagai kepala gereja yang menghadirkan kata ‘syalom” tetap relevan dalam berbagai situasi dan kondisi yakni sebuah wadah (gereja) yang mandiri dalam persekutuan, kesaksian,dan melayani.
Pemakaian tas ransel tidak akan seimbang bila kita sendiri yang salah meletakan posisi dan kedudukannya, apapun itu akan memberi konsekwensi, tetapi inilah GMIM wadah yang menampung bekal yang besar memerlukan keterbukaan dan kesediaan menerima mengingat GMIM selain sebuah wadah spiritual dia juga adalah organisasi yang memiliki asset dan pemberdayanya, baik dibidang pendidikan,kesehatan dan usaha usaha provit lainnya. Dengan memiliki 967 pusat pendidikan (Tk,SD,SMP,SMA) dengan infrastruktur terbatas dan memprihatinkan setidaknya memberi warning bahwa betapa penting sebuah “ransel” itu yang disukai oleh banyak kalangan dengan harapan harapan baru untuk menghadirkan “produk” baru untuk mempersiapkan tiang tiang gereja masa depan yang berkwalitas dan memiliki daya saing di era kompetisi global. Ransel adalah tetap sebagai “ransel” (wadah) yang menampung semua beban dalam perjalanan kita. Pesta iman Sidang sinode tahun 2014 bulan maret memiliki moment untuk introspeksi dan restrospeksi dari perjalanan kita untuk menentukan langkah baru yang lebih baik, agar tidak terkoyak lagi dan mengalami tambal-sulam “ransel” kita. Rentan waktu perjalanan yang mendekati tahun ke 100 bersinode, GMIM setidaknya memiliki kecepatan meng-akses berbagai potensi “downstream dan upstream” kemampuan monitoring yang bukan sekedar penjabaran “renstra” melainkan kemampuan jaringan yang focus dan transparan. Ransel kita mengalami distorsi oleh karena kita terjebak dengan perilaku lama yakni masih menggunakan modem “konvensional” yang bekerja pada frekuensi kurang dari 4 kH padahal di era millennium ke 3 kita sudah mengantisipasi dengan Asymetric Digital Subcriber Line (ADSL) yakni sistim “akses” berkecepatan tinggi. Yakni selain memiliki daya proaktif, tetapi ransel kita juga harus diperlengkapi dengan sistim jaringan yang baik. Gaya konvensional dan konservatif turut memberi hasil stagnan dan tidak berkembang. Acuan laporan BPPS GMIM , dengan meninggalkan sisa peringatan di tahun 2012 dimana “ransel” kita masih terdapat pengelolaan keuangan yang secara parsial dan tidak terpusat. Belum adanya “tupoksi” turut memberi rentan polemik kita, modem konvensional turut dipengaruhi para perangkat “lunak” sebab selain sistim juga “humah eror” menjadi bagian ransel kita sering terseok seok. Ransel harus digunakan pada kedua bahu agar terjadi keseimbangan. Agenda pemilihan di semua aras GMIM telah memiliki produk “bekal” tinggal tergantung kita membawa “ransel” kita terasa nyaman di pundak kita.

(tulisan ini dipersembahkan untuk persiapan SMTS Bitung 2013. Penulis adalah ketua BPMJ Baitel batusaiki Wilayah manado Utara IV).

Selasa, 17 September 2013

PLURALISME AGAMA

(dan Fenomena Sosial-Politik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia)

 artikel:
Oleh: Yong Ohoitimur MSC
Judul di atas mengasumsikan fakta pluralitas agama-agama dan berbagai fenomena sosial-politik dalam kaitan dengan pluralitas agama tersebut. Sebutkan sebagai contoh, masalah sulitnya mendirikan rumah ibadat, masalah penangkapan terhadap mereka yang dituduh beraliran sesat, isu kristenisasi dan islamisasi, masalah kekerasan atas nama pemurnian agama, masalah legislasi yang berhaluan keagamaan, masalah politisasi agama, dan seterusnya. Menghadapi kompleksitas masalah-masalah itu, timbul dua pertanyaan yang mendesak untuk didiskusikan. Apa yang menjadi akar masalah pluralisme di Indonesia? Bagaimana membangun Indonesia yang masyarakat dan lingkungannya sangat plural?.
Berkaitan dengan pertanyaan pertama, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) melakukan analisis yang tajam tentang hubungan “agama dan negara”. Walaupun hubungan agama dan kekuasaan berbeda dari satu agama ke agama yang lain baik dalam praktek maupun dalam doktrinnya, namun pengalaman menunjukkan bahwa agama dan kekuasaan negara sulit dilepaskan. “Agama menjadi inti kekuasaan dan kekuasaan menjadi inti agama” (hlm. 532). Pandangan ini perlu kita periksa dalam realitas komunitas agama masing-masing.
Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Teoritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992) menjelaskan bahwa para pemimpin agama dalam Islam menurut hakikatnya tidak memiliki otoritas atas siapa pun. Mereka hanya memiliki wewenang keilmuan agama, karena itu suara mereka dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan kualitasnya tergantung pada tingkat pengetahuannya. Singkatnya, dalam Islam seorang ulama memiliki independensi yang utuh. Namun pandangan tersebut tentu saja berbeda dari komunitas Islam yang satu dengan komunitas Islam yang lain. Bernard Lewis dalam Bahasa Politik Islam (1994) menulis bahwa “Islam adalah agama yang sejak awal pertumbuhannya mengalami sukses luar biasa di bidang politik. Sejak semula Islam adalah agama para penguasa, atau agama yang mempunyai kekuasaan” (terkutip dalam Dhakidae, hlm. 533). Pengalaman di negerri kita sendiri bahwa penguasa selalu membutuhkan dukungan politik dari para ulama dan kaum santri.
Dalam bukunya Kebenaran yang HIlang (aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah) dengan sub judul Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (2007) Farag Fouda (Faraj Faudah), seorang pemikir Mesir berhaluan sekuler, mengambil posisi melawan konsep ideologis para ulama Islam Mesir yang membela politik Islam. Pokok yang diperdebatkan adalah hubungan agama dan politik, penerapan syariat Islam, dan institusi khalifah. Fouda tidak menentang argumen kubu lawannya dengan cara membongkar sisi kelam praktek politik dan kekuasaan dalam sejarah Islam sendiri. Ia, misalnya, menunjuk betapa sejarah politik sesudah Nabi sarat dengan jelek yang yang memalukan, bahkan tidak berperikemanusiaan. Sebagai salah satu contoh ia merujuk pada pembunuhan Usman bin Affan karena pertikaian politik antarsahabat Nabi. Jenazahnya ditolak dimakamkan di pekuburan Muslim, itu pun terjadi tiga hari sesudah kematiannya. Proses pemakaman Usman diselingi hujatan dan tindakan tak terpuji seperti meludahi jenazah, bahkan salah satu persendian mayat Usman dipatahkan. Di mata Fouda, fakta seperti itu menunjukkan hilangnya semangat ijtihad dalam berpolitik. Tentang kubu lawannya, ia menulis, “Mereka tetap berteriak atas nama Islam dengan sesuatu yang merendahkan Islam. Akibatnya Islam dianggap sebagai agama kaum fanatis, padahal ia adalah agama kaum lapang dada… Mereka memantulkan patologi-patologi kejiwaan yang mereka idap sendiri kepada Islam, sesuatu yang kita tolak atas nama agama pula dan selaku umat Islam” (hlm. 36 – 37). Pesan kuat dari pemikiran Fouda, yaitu apabila praktek politik merujuk kepada agama dan sejarahnya, baiklah keberpihakan politik dengan basis agama itu tidak menyembunyikan sisi kelam dari agama dalam politik. Agama wajib menyuntikkan kebenaran historis dan ideal bagi cara berpolitik. Karena moral dan spiritualitas agama itu bagaikan roh yang menghidupkan politik yang sejati.
Dalam sejarah Gereja Katolik, tercatat bahwa Konsili Lateran V (1215) menetapkan sistem pemerintahan teokratis. Dengan itu Gereja menggenggam dua kekuasaan sekaligus, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Implikasinya, agama Katolik dipaksakan menjadi agama negara, dan seorang pemimpin negara, seperti raja dan kaisar, harus mendapatkan restu dari Paus di Roma. Kekuasaan kepausan sendiri dipandang berasal dari delegasi ilahi, sementara pemerintah monarki dilegitimasi dengan hukum ilahi. Dengan teokrasi, gereja mengontrol semua bidang kehidupan. Paus pun tak ragu-ragu menjatuhkan hukuman bagi siapa saja, termasuk bagi seorang ilmuwan seperti Galileo Galilei.
Ketika dalam abad ke-18 pecah Revolusi Perancis, secara tak terhindarkan gereja ikut terseret ke medan pertikaian politik. Humanisme dan kebebasan yang sudah berkecambah sejak masa Renaissance (abad ke-15) menjadi nilai-nilai hakiki di era revolusi dalam wujud demokrasi. Akibatnya, Gereja mesti memihak gerakan restorasi monarki yang dianggap lebih melindungi hukum ilahi. Seruan Gereja untuk kembali kepada Tuhan, bukan manusia, dengan sendirinya menyiratkan penolakan terhadap demokrasi. Sejarah Prancis mencatat bahwa suasana keruh hubungan Gereja dan negara, agama dan politik, berlangsung tak kurang dari dua abad lamanya. Untunglah Gereja Katolik mampu belajar dari pengalamannya. Bahwa agar manusia dihormati martabat luhurnya, dan agar Gereja tetap komit dengan misi pewartaan Injil, maka Gereja harus perlu mengakui otonomi negara dalam berpolitik. Konstitusi  Pastoral Gaudium et spes [Konsili Vatikan II] 1965 akhirnya secara defenitif meninggalkan sistem teokrasi dan mendudukkan diri sebagai mitra pemerintah dalam melayani kesejahteraan umum. “Pro bono publico” (demi kebaikan umum) menjadi jiwa pengabdian yang mempertemukan Gereja dan negara, agama dan politik, karena hakikat moral dan spiritualnya niscaya terkoyak. Sebaliknya, janganlah negara memanfaatkan agama dan simbol-simbolnya sebagai instrumen politik, karena hal itu akan mendangkalkan praktek beragama menjadi formalitas yang superfisial.
Gerakan Reformasi Gereja-gereja Protestan yang dilakukan oleh Martin Luther dan John Calvin dengan benar mengkritik “kolusi suci” Gereja Katolik dan kekuasaan politik di abad pertengahan sejarah Eropa. Dari kalangan Gereja Katolik sendiri reformasi spiritual dilakukan oleh Fransiscus dari Asisi (1182-1226) sebagai protes terhadap kolusi tersebut dengan mengatakan bahwa Gereja harus kembali kepada tugas spiritualnya. William dari Ockham (1285-1346), seorang imam Fransiskan, juga melancarkan kritik dengan argumen bahwa negara memiliki otonomi mengurusi politik, dan tidak membutuhkian otoritas apa pun dari Paus di Roma. Artinya, sebelum Reformasi Protestantisme, sudah dilakukan upaya-upaya pembaharuan internal Gereja dalam kaitan dengan kekuasaan politik.
Sejarah Gereja-Gereja Kristen di Indonesia mencatat bahwa masuk dan berkembangnya Gereja di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari “hubungan baik” dengan pemerintah kolonial. Penguasa VOC pernah melarang para imam Katolik bekerja di Sulawesi Utara, sebaliknya memberikan keluasan kepada misi Protestan yang mewartakan Injil. Hal yang sama berlaku di Maluku. Pengalaman hubungan Gereja dan kekuasaan Orde Baru juga menarik untuk direfleksikan.
Namun yang lebih relevan dan mendesak untuk dikaji sekarang adalah pengalaman komunitas Gereja lokal sekarang dengan pemerintah. Sebuah contoh yang menarik dapat diambil dari kalangan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Dalam berbagai forum, kalangan muda dan pendeta GMIM melakukan otokritik yang sehat, bahwa Gereja terlalu dekat dengan pemerintah, dan politik terlalu kuat mewarnai penyelenggaraan kewenangan dalam Gereja. Walaupun tidak selalu kelihatan, tetapi “kedekatan” itu berdampak pada kebijakan publik yang pada giliranya dialami oleh komunitas agama lain sebagai diskriminasi.
Teori tentang good governance mengajarkan satu hal yang penting. Penguatan demokrasi terjadi seiring dengan pergeseran dari “government” ke “governance”. “Govern-ment” dan “Governance” sama-sama terkait dengan cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi administrasi, dst dalam rangka kepentingan umum suatu bangsa atau negara. Namun “government” berarti sistem di mana unsur pemerintah dominan dalam  menyelenggarakan kekuasaan politik. Dalam konteks itu, agama-agama merasa harus mendekatkan diri kepada kekuasaan untuk turut berpartisipasi demi kepentingannya. Pada “governance” penyelenggaraan kehidupan bersama tergantung pada tiga pilar, yaitu negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market).
1.   Negara (state, government) terdiri dari badan eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, polisi, dan mereka yang bertugas memberikan public service. Negara berfungsi menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; mengurus standar kesehatan; pendidikan dan standar keselamatan publik.
2.        Masyarakat meliputi organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, komunitas-komunitas agama, media massa, dsb. Masyarakat berperan mengontrol negara dan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana cheks and balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan SDM; sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Sedangkan,
3.    Pasar/Dunia Usaha terdiri dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM), korporasi nasioal/internasional, lembaga keuangan, dsb. Dunia Usaha bertugas menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; transfer ilmu pengetahuan dan tekhnologi kepada masyarakat; menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.
Dilihat dari teori tersebut, yaitu dalam perspektif “good governance” agama mengambil posisi dalam civil society dan antara lain menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Peranan agama ini akan semakin seimbang, dalam arti tidak menempel dan berpengaruh buruk terhadap kepentingan umum, apabila demokrasi semakin ditumbuhkan sehingga partisipasi, rules of law, transparansi dan akuntabilitas (=prinsip-prinsip good governance) semakin dipraktekkan. Dalam perspektif itu, dibutuhkan gerakan untuk memberdayakan good governance dalam institusi negara dan masyarakat.
Akhirnya, kemajemukan masyarakat Indonesia menuntun negara Indonesia kembali pada dasar negara, Pancasila, seperti yang diletakkan oleh founding fathers. Pancasila perlu dikembalikan sebagai dasar negara yang nilai-nilainya menjadi rujukan semua produk hukum di Indonesia. Hanya dalam bingkai Pancasila kita memiliki keseimbangan antara ruang kebebasan publik bagi setiap orang dan individu warga negara dan “privacy” masing-masing komunitas agama untuk mengurusi dirinya.
Kesimpulan, kita membutuhkan tiga hal. (a) Refleksi dan kajian mengenai pengalaman hubungan komunitas agama dengan kekuasaan negara (politik) untuk menentukan seberapa jauh kita sendiri menjadi penghambat pluralisme di negeri ini. (b) Good Governance dapat merupakan bingkai yang mendudukkan agama dalam posisi yang sehat terhadap negara (politik). (c) Pancasila sebagai dasar negara Indonesia perlu dikembalikan sebagai bingkai ideologi yang memberikan ruang bagi agama-agama untuk bereksistensi menurut hakikatnya; Pancasila juga perlu dikembalikan sebagai rujukan peraturan-peraturan hukum negara.
(Penulis: STF. Seminari Pineleng Manado)

Indonesia dan Pluralisme


Saat kita diajukan sebuah pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari 300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak. Dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia dengan beragam hasil kebudayaannya menjadikan tantangan dalam menciptakan sebuah integrasi sosial. Dengan struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangatlah terbuka bagi Indonesia untuk selalu menghadapi konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit membangun integrasi secara tetap. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanaman konsep pluralisme.

Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.

Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores ), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.

Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.

Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai negara berkembang, yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.

Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas, mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya.

Realita Tak Semanis Kerangka

Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang memprihatinkan.  Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk diatasi.

Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.

Ditengah kerangka nation building, Indonesia mendapat tantangan dari kepluralisme-an yang disandangnya. Setelah selama lebih kurang satu abad “proyek” nation building diselenggarakan, nyatanya masih belum tuntas juga. Stabilitas sosial dan politik yang relatif terpelihara sepanjang pemerintahan orde baru sempat menimbulkan keyakinan bahwa proyek pembangunan bangsa (nation building) nyaris usai. Namun saat ini proses nation building tengah berbalik arah. Demokratisasi dan desentralisasi pascareformasi ternyata tidak memperkuat sentimen kebangsaan, tetapi justru membuka ruang bagi munculnya kembali sentimen-sentimen antipluralisme. Pancasila, yang sebelumnya dipercaya sebagai sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna.

Hilangnya satu faktor kuat yang dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif bangsa atau pemersatu bangsa menjadi masalah krusial. Sesekali perasaan menjadi satu muncul, seperti saat beberapa atlet negeri memenangkan kejuaraan internasional, tsunami di Aceh, atau ketika Malaysia “merampas” pulau dan budaya Indonesia. Namun semua itu hanya letupan api sesaat yang mudah hilang. Pada momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik oleh konflik horisontal antarkelompok, seperti saat pemilu. Pluralisme yang terkait dengan karakter dan jatidiri bangsa, dalam realitas aktual juga menunjukkan suatu “kebangkrutan moral” diberbagai bidang : korupsi, mafia hukum, tawuran dan kemunafikan dalam politik. Hal ini tidak relevan untuk mengacu pada tata nilai tradisional yang dianut oleh etnik nusantara dengan sikap dan tatakrama terhadap sesama dan lingkungan.

Hal-hal diatas membuat rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap negara. Keberpihakan yang rendah dari elite-elite terhadap nasib rakyat menjadi pemicunya. Di tengah krisis kepercayaan ini, rakyat mencari perekat alternatif yang dapat menimbulkan rasa aman. Repotnya, pengalaman yang mereka temukan bukanlah berskala nasional, tetapi lokal atau partikular. Agama, bahasa, etnisitas, dan lokalitas adalah simbol-simbol yang mereka pandang lebih konkret ketimbang simbol-simbol nasional, seperti Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Identitas pluralisme tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan kehidupan sehari-hari, cepat membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor pendorong gerakan massa, bahkan revolusi.

Pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa juga masih menyisakan rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang ataupun Perda bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling sensitif ketika membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks pluralisme tidak hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Sepanjang 2011, menurut data yang dihimpun oleh Center for Religious and Cross-curtural Studies (CRCS) dan beberapa pemberitaan media massa, setidaknya ada 36 kasus yang diduga berlatar belakang agama terjadi di 14 provinsi di Indonesia. Angka tersebut hanya menunjukan permasalahan ibadah belum mencakup semua permasalahan yang dipicu oleh mispresepsi dan miskomunikasi antar umat beragama (Republika, 2012). Pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam berbeda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, ataupun dengan Hindu. Hal itu tidak bisa disamakan. Tak cukup kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki pandangan keagamaan lain, situasi diperparah dengan munculnya berbagai RUU dan Perda yang menafikkan keragaman sosio-kultural-religius masyarakat. Padahal dalam perundang-undangan nasional ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan agama tidak dapat dijadikan hukum tertulis. Dalam hukum, ketiganya disebut sebagai norma otonom. Jika diformalkan, berarti negara mencampuri urusan privat warganya.

Kesenjangan dan sakralisasi pembangunan yang dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya telah melahirkan banyak korban. Uniformalitas terhadap budaya lokal dengan dalih kesatuan dan persatuan adalah contoh yang nyata. Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru tidak mendudukan pembangunan dengan konteks lokal, pembangunan hanya berorientasi pada pusat, sehingga kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan oleh daerah. Perubahan paradigma kekuasaan sentralis menjadi paradigma kekuasaan berbasis daerah (desentralis) melalui kebijakan otonomi daerah memberikan nafas baru dalam upaya membangkitkan kembali modal sosial berupa spirit lokalitas yang telah lama hilang. UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian UU No.32 Tahun 2004 membawa misi penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang sudah lama termarjinalkan pusat, serta membingkai kembali masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun pada kenyataannya sejak era reformasi, justru kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Permasalahan antaragama seperti dibahas sebelumnya, ras dan suku menjadi contohnya.

Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia ternyata malah memberi kecenderungan penguatan aspek-aspek antipluralisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda. Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah pemerintah selalu di hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban; Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang politik dan aspirasi masyarakat secara luas.

Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan  dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi nasional). Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dengan  demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan Integrasi Nasional.

Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap “kambing hitam”, mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial. Bung Karno pernah berkata bahwa dari lima sila Pancasila jika diperas maka akan menjadi Tri Sila yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Dari Tri Sila tersebut jika diperas lagi maka akan menjadi satu perkataan yaitu gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari semua sila Pancasila. Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan, namun semua itu harusnya tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam membangun bangsa.

Mempertahankan dan Menghargai Pluralisme

Sebenarnya konsep multikulturalisme sangat cocok diterapkan. Konsep ini adalah dengan mempertahankan identitas masing-masing, tetapi dengan tambahan pengembangan nilai saling menghargai secara alamiah. Sejak jaman Soekarno dengan pendekatan romantika nasionalismenya sampai pada Soeharto dengan konsep disiplinnya belum ada yang menunjukkan hasil positif terhadap kemajemukan negara ini. Adanya arus globalisasi, menjadikan masyarakat ini berkembang sangat cepat, dengan adanya gerakan demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan gerakan lain yang menjunjung tinggi keanekaragaman. Peluang global semacam ini ditangkap baik oleh kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia dan justru memperkuat identitas masing-masing. Pemikiran pluralisme justru kuat dimasa lampau ketika negara berkuasa penuh, sehingga politik keseragaman itulah yang tertanam dalam masyarakat. Namun kini dengan adanya demokratisasi, maka terbuka peluang bagi mereka untuk menyatakan dirinya masing-masing.

Kembali ke konsep Soekarno tadi, Pancasila. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan suatu keharmonisan antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu. Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif, memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralis, tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Semboyan tersebut masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi sesuatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari seiring dengan kebangkitan negeri untuk kerangka pembangunan bangsa.

PLURALISME DAN TRANSFORMASI AGAMA

(Sebuah Sketsa dilematis)
 oleh: Pdt Lucky Rumopa STh

Secara kasat mata pengertian Pluralisme lebih menunjukan pada “beragam-paham” dalam berbagai dimensi hidup, namun istilah ini lebih kuat menunjuk pada “ajaran” atau sebuah keyakinan manusia dimana ada interaksi social yang mau tidak mau menerima segala perbedaan itu. Dalam ilmu social lebih menujuk pada hubungan hubungan yang saling menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Pluralisme adalah paham bersama dari berbagai perbedaan untuk dapat menerima satu dengan yang lain sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan sebagai mahkluk social. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. nah disini barangkali kita bisa melihat posisi pluralistis merupakan partisipasi positip dalam pengembangan ekonomi,politik dan pembangunan masyarakat yang maju. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi disatu sisi, Dunia komunikasi dan tekhnologi sains mulai merambat sejak terluncurnya era mellenium ke-3 dengan perubahan tersebut kehidupan manusia mengalami kemajuan dalam sandi-sandi kehidupannya kita sering menilai secara langsung yang sangat nampak pada era sekarang ini dari segala sektor kebutuhan umat manusia sudah berjalan dengan proses yang serba instans segala aktivitas mudah terampung dengan hadirnya dunia tekhnologi yang semakin terkemuka contohnya komunikasi dan media informasi yang mudah sekali kita temui di tengah pusaran kehidupan masyarakat tak kalah menarik juga transportasi sebagai kebutuhan yang dominan untuk menunjang kemakmuran para masyarakat.

Dengan hadirnya perangkat tekhnologi semua instansi dan element masyarakat menjadi praktis sehingga realitas yang paling dominan dari posisi positifnya behwa perkembangan ilmu pengetahuan(science) dan juga tekhnologi melalui sarananya bisa menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya terasa transparan dan dari sisi negatifnya telah menybabkan kegelisahan dan juga keterpurukan yang luar biasa atas imbas kemajuan dari ilmu pengetahuan(science) dan tekhnologi tersebut. Berbagai aspek bisa di akses dan menghantam dinding dinding moral yang di bangun dalam batasan batasan agama.

Pluralisme diantara “isme”
Fenomena plural dalam sistim social mengikat manusia menjadi saling berketergantungan dan sebenarnya memberi sumbangsih yang positip bagi perkembangan hidup. Di Negara-negara barat sosialisme diartikan sebagai pendistribusian kekayaan secara lebih merata. Di Negara-negara berkembang sosialisme ditafsirkan sebagai pembangunan ekonomi dan industry dengan maksud menaikkan tingkat hidup dan pendidikan masyarakat. Robert Owen (1771-1858) memprakarsai gerakan koperasi yang menyokong organisasi serikat dagang yang tersebar di seluruh Inggris dan Skotlandia. Owen yakin bahwa koperasi produsen dapat menciptakan tata masyarakat yang baru. Perkembangan sosialisme di berbagai Negara disesuaikan dengan tradisi Negara yang bersangkutan. Dengan demikian terjadi pula perbedaan penafsiran tentang sosialisme dan pluralitas dijadikan tandem kekuasaan rezim dan politik. Kemudian pluralitas berhadapan dengan nasionalisme,Paham ini berasal dari Eropa barat lalu menyebar keseluruh Eropa pada abad ke19 dan pada abad ke20 tersebar ke seluruh dunia. Hans Kohn menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara dan bangsa. Paham ini merupakan suatu kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern. Lothrop Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang hidup dalam hati rakyat yang berkumpul menjadi satu bangsa. Setelah perang dunia kesatu, nasionalisme merupakan persoalan upaya menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa sebagai akibat dari meningkatnya paham fasisme dan sosialisme. Sesudah perang dunia kedua, nasionalisme ditandai dengan munculnya revolusi kemerdekaan dalam bentuk perlawanan terhadap imperialism dan kolonialisme di Amerika Latin,Asia,Afrika. Kemampuan untuk memahami nasionalisme dapat terlihat dari symbol-simbol nasionalitas seperti bendera dan lagu kebangsaan, symbol symbol tersebut mengikat perbedaan perbedaan dalam sistim social.yang pada akhirnya membentuk patron-patron yang bersifat partikulairistik dengan sentiment golongan satu dengan partai yang lain. Pluralisme dalam perkembangan mengalami distorsi ketika Patron-partikularisme membentuk paham liberalism yang kuat didalam sebuah “nation’ . John Locke dianggap sebagai pelopor paham politik liberal. Menurut Locke, Negara terbentuk dari perjanjian social antara individu yang hidup bebas dan penguasa. Sedangkan menurut versi lain mengenai paham politik liberal dikemukakan oleh Montesquieu (1689-1775). Dalam bukunya The Spirit Of Law, mengemukakan teori pemisahan kekuasaan: eksekutif, legislative, dan yudikatif. Setiap kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi satu dan yang lain. apabila ketiga kekuasaan pemerintah berada dalam satu tangan, baik individu maupun lembaga, kesewenangan akan muncul. Perkembangan liberalisme di bidang ekonomi dikenal dengan ekonomi liberal. Prinsipnya berasal dari tulisan Adam Smith,David Ricardo, dan Robert Malthus. Mereka mengembangkan paham bahwa individu memiliki kebebasan untuk mengembangkan kekuatan dan bakatnya dalam berusaha. Oleh karena itu, liberalism menolak campur tangan pemerintah dan membenarkan konsep perdagangan bebas. Liberalism dapat pula dibedakan atas liberalism lama dan liberalism modern. Liberalism lama lebih memperhatikan kebebasan individu dari kesewenang-wenangan pemerintah. Liberalism yang modern mencari perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang organisasi swasta dan Negara.

Pluralisme dalam agama.
Istilah ini merupakan sesuatu yang khusus dalam kajian agama agama, Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama¬ agama (religious studies). Tantangan terbesar yang diakibatkan oleh kaum orientalis diantaranya juga dalam bidang studi agama-agama, dengan mengembangkan epistemology relativisme dalam memandang kebenaran agama-agama. Memahami pluralisme agama pun harus memiliki metode yakni ; pendekatak teologis normative,antropologis,sosiologis, filosofis,historis,cultur dan phsikologis. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Menurut Heldred Geertz, di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri, bahwa "pluralisme" merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam "pluralisme" dan merupakan bagian dari "pluralisme" itu sendiri. Tak pelak, pluralitas agama juga merupakan tantangan tersendiri bagi agama-agama dunia dewasa ini. Oleh sebab itu, jika pluralitas agama tidak disikapi secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama, maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik.subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. bahwa perbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. pluralitas agama merupakan keniscayaan. Dengan demikian, dalam konteks ini sedikitnya terdapat dua problem yang dihadapi oleh pemeluk agama dalam menghadapi tantangan agama ke depan: pertama, adalah problem pemahaman ajaran agama, dan yang kedua adalah problem politisasi agama.

Transformasi Agama.
budayawan politik, Albert Widjaja yang menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik yang terdiri dari sistem nilai-nilai seperti ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Masyarakat mengakui sistem nilai tersebut, sebagian atau keseluruhannya. Latar belakang pemahaman terhadap budaya politik akan memberikan penilaian logis untuk menolak ataupun menerima nilai lain atau baru. Lebih lanjut, Widjaja menyandingkan konsep budaya politik dengan idelogi, yang berarti sikap mental, pandangan hidup, dan struktur pemikiran. Budaya politik merupakan kesatuan pandangan di dalam masyarakat, sedangkan pandangan individu yang khusus masih perlu dipernyatakan keberlakuannya. Letak agama disini sebagai media untuk membentuk keseragaman pandangan di dalam masyarakat yang nantinya dalam sistem politik Indonesia akan menjadi penguat dan unsur dalam demokratisasi di Indonesia. Salah satu dengan adanya demokrasi lokal. Mengingat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia berupa pedesaan dalam pengembangan demokrasi nasional. Transformasi adalah peruabahan rupa, bentuk, sifat, dan fungsi. Dikatakan bahwa peran agama dalam demokrasi lokal telah ditransfomasikan menjadi sebuah wujud baru dan salah satu unsur dari demokratisasi sistem politik di Indonesia. Transformasi praktek-praktek keagamaan di tingkat lokal, secara langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik penguasa. bahwa dalam demokrasi lokal terdapat sebuah transformasi peran agama yang menjadikan sifat, bentuk dan fungsi agama berubah menjadi penguat serta pelindung dari kekuasaan politik. Namun hal itu tentu memberikan corak baru tentang bagaimana demokratisasi di Indonesia bila peran agama menjadi salah satu aktor dalam menentukan rasa nyaman dan makmur dalam berbagai perbedaan yang ada. Tetapi definisi pluralism agama telah menimbulkan polemik panjang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, mengingat agama agama memiliki kedudukan dan cara pandang sesuai dengan keyakinan masing masing terhadap perubahan dan perbedaan itu sendiri.
(Penulis adalah Pdt.GMIM)

Keabadian Cinta


Bagi yang tidak percaya dengan keabadian cinta, sebaiknya mendengar cerita ini. Setelah menunggu selama 30 tahun, sepasang kekasih dari Korea Utara dan Vietnam akhirnya bersatu dalam pernikahan. Tiga dasawarsa bukanlah waktu yang pendek, tapi mereka berhasil menjaga kesucian cinta mereka dari seberang lautan.
Kisah cinta ini bermula saat seorang mahasiswa kimia asal Vietnam pergi ke Korea Utara pada 1971 untuk belajar. Mahasiswa muda itu, Pham Ngoc Canh, jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita yang sekilas dilihatnya melewati pintu laboratorium di Hamhung, tak jauh dari Pyongyang. Pham pun nekat menemui Ri Young-Hui. Mereka lalu bertukar hadiah, Pham memberi foto dan Ri memberikan alamat yang ditulis di sobekan kertas. Mereka bertemu diam-diam dan berpisah diam-diam. Pham memberitahu ibu Ri agar memaksa putrinya menikah dengan pria lain saja karena mereka berdua tidak mungkin dipertemukan.
Rezim Korea Utara melarang warganya berhubungan dengan orang asing, meski dari negara komunis seperti Vietnam. Ri menolak saran Pham dan ibunya untuk menikah dengan pria lain. Bahkan ketika Pham pulang ke Hanoi karena tugas belajarnya selesai, Ri berusaha bunuh diri. Pham pun akhirnya bertekad untuk memperjuangkan cinta mereka. Dibantu oleh ibu Ri, kedua kekasih ini menjalin hubungan hanya lewat surat selama 20 tahun tanpa pernah bertemu sekalipun. Surat terakhir diterimanya pada 1992. Mengetahui Ri tak mungkin memperjuangkan persatuan merekakembali, Pham pun mengambil inisiatif untuk selalu mengusahakan pertemuan mereka kembali. Sebagai seorang penerjemah tim olahraga nasional, Pham beberapa kali mengunjungi Korea Utara. Kesempatan ini selalu digunakannya untuk menghubungi Ri. Namun, usahanya selalu gagal.
Orang-orang di Korea Utara selalu mengatakan, Ri telah menikah atau meninggal, tapi Pham lebih percaya kesejatian cinta Ri ketimbang omongan orang-orang. Ia menolak untuk percaya telah kehilangan kekasihnya. Pham juga pernah berusaha melunakkan kakunya birokrasi dengan membawa 40 surat cinta dalam bahasa Korea yang dikumpulkannya selama 20 tahun itu ke Kedutaan Besar Korea Utara di Hanoi. Ia berharap mereka mau membantu. Namun usaha ini, seperti perjuangan sebelumnya, menemui ketidakpastian.
Tahun-tahun terus berlalu dan rambut mereka sudah mulai beruban, namun cinta mereka tak juga pupus. Tahun lalu, Pham melakukan usaha terakhirnya saat ia mendengar delegasi politik Vietnam berkunjung ke Pyongyang. Ia kemudian menulis surat kepada Presiden dan Menteri Luar Negeri Vietnam. Usahanya kali ini tak sia-sia.

Berantas Mafia Hukum