Sabtu, 31 Agustus 2013

Pemilihan Sebagai Ibadah

Tema Mingguan: Pemilihan sebagai Ibadah
Tema Bulanan: Spiritualitas dalam demokrasi

Bahan Alkitab: Kisah Para Rasul 1:15-26
ALASAN PEMILIHAN TEMA
Tema minggu ini, "Pemilihan Sebagai Ibadah" dipilih berdasarkan pemahaman dari pembacaan yang dipilih (Kisah Para Rasul 1:15-26) dengan memperhatikan tema bulanan, "Spiritualitas dalam berdemokrasi". Pemilihan selalu berhubungan dengan apa yang disebut demokrasi. Karena dalam setiap pemilihan selalu mengedepankan keterlibatan komunitas umat atau komunitas masyarakat yang memiliki tanggung jawab yang bukan saja pada terlaksananya demokrasi itu tetapi juga turut serta pada terlaksananya demokrasi itu tetapi juga serta bertanggung jawab pada sumbangsih demokrasi itu bagi kehidupan selanjutnya.

PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Bacaan Alkitab ini, Kisah Para Rasul 1:15-26 memaparkan beberapa tokoh yang menonjol dengan peran mereka masing-masing. Pertama, Petrus. Dia adalah seorang Rasul Kristus yang sebenarnya bernama Simon akan tetapi lebih dikenal dengan nama Petrus, dalam bahasa Yunani adalah Petras dan dalam bahasa Aram Kefas yang berarti "batu Karang". Dia menjadi murid pertama yang dipilih oleh Yesus (Matius 4:18-22). Pemilihan atas Petrus menjadi murid merupakan cara dan sikap dari Yesus yang mau melibatkan orang lain dalam pelayanan-Nya. 
Kedua, peran Roh Kudus sangat penting dalam kitab Kisah Para Rasul ini. Dijelaskan bagian-bagian yang lain, bagaimana pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang percaya di abad-abad permulaan. Peran Roh Kudus nampak dalam perjalanan pelayanan rasul Paulus, di mana Roh Kudus menunjukkan kota-kota yang harus dihindari dan atau yang harus dimasuki oleh Paulus dalam pelayanannya (Kisah 16:6-8 dan 20:22). 
Ketiga, tokoh Yudas. Dia sebelumnya adalah bagian dari bilangan dua belas murid. Tetapi dia melakukan pengkhianatan terhadap Yesus yang adalah gurunya. Tiga puluh keping perak adalah harga dari suatu pengkhianatan Yudas (Mat.26:15), jadi sebetulnya ia tidak membeli tanah. Para imamlah yang menggunakan uang itu untuk membeli tanah, oleh penduduk Yerusalem disebut dalam bahasa mereka "Hakal Dama" yang artinya "Tanah darah" (ayat 19).
Keempat, tokoh Yusuf (atau barsabas atau Yustus) dan Matias. Mereka berdua menjadi orang-orang yang diusulkan rasul Petrus untuk dipilih oleh Tuhan. Kelima, peranan Tuhan sangatlah penting dalam memilih seseorang yang mau menggantikan Yudas. Petrus menyerahkan pemilihan itu dalam kehendak dan otoritas Tuhan dengan kekuasaan yang ada pada-Nya. Bukankah manusia adalah ciptaan-Nya? Dengan demikian Tuhan pasti mengenal hati setiap orang, termasuk Yusuf dan Matias.
Dalam Kitab Kisah Para Rasul 1:15:26, penulis menjelaskan bagaimana campur tangan Tuhan Allah dalam pemilihan seorang rasul yang menggantikan posisi Yudas. Kematian Yudas berujung pada berkurangnya jumlah murid Yesus, yang sebelumnya 12 orang. Pemilihan ternyata juga dilakukan dalam rangka memenuhi bilangan yang ada. Angka dua belas dianggap sebagai angka yang kudus. Seperti ketika Yesus memanggil dua belas rasul dan jumlah ini sama dengan jumlah suku Israel. Karena itu, rasul Petrus bersama dengan rasul-rasul yang lain terpanggil untuk memilih seseorang agar jumlah mereka kembali menjadi dua belas.
Petrus di depan seratus dua puluh orang menyampaikan kerinduannya kepada Tuhan dalam permohonan doa agar Tuhan memilih satu orang dari antara Yusuf (atau Barsabas atau Yustus) dan Matias. Mereka berdua dianggap layak atau memenuhi kriteria untuk dipilih sebagai rasul. Pemilihan tidak hanya sebatas pada mau menggantikan posisi Yudas, tetapi juga pemilihan harus dilakukan agar tugas-tugas kerasulan dan pemberitaan Injil berjalan terus, sebagaimana yang pernah mereka lakukan bersama dengan Yesus, mulai dari baptisan Yohanes sampai hari Yesus terangkat ke sorga (ayat 22). Proses yang dilakukan adalah mengundi dan akhirnya terpilihlah Matias yang diyakini sebagai tindakan Tuhan Allah. Dengan demikian Allah memakai proses pemilihan dalam mewujudkan kehendak-Nya.

Makna dan Implikasi Firman
Pemilihan menjadi sarana perwujudan ketaatan pada Yesus Kristus Kepala Gereja. Karena itu Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) mengakui Pemilihan adalah cara kerja Tuhan Allah untuk memilih orang-orang yang dipakai-Nya dalam tugas pelayanan Gereja di tengah dunia ini. Maka sangatlah beralasan jika GMIM mengakui bahwa Pemilihan sebagai Ibadah. 
Berdasarkan kalender pelayanan Gereja Masehi Injili di Minahasa, bulan-bulan September ini menjadi bulan-bulan persiapan memasuki kegiatan Gerejawi yang besar yaitu Pemilihan Pelayan Khusus dan Komisi Pelayanan Kategorial, Pemilihan Badan Pekerja dan pemilihan perangkat pelayanan GMIM di semua aras. Bagi GMIM pemilihan dilakukan agar pelayanan tetap berjalan demi mencapai tujuan yang diharapkan sebagaimana keputusan dan ketetapan dalam Sidang-Sidang Majelis Sinode sebagai bentuk jawaban atas panggilan Tuhan bagi gereja.
Bagi GMIM, sistem demokrasi dalam pelayanan yang nampak pada kegiatan pemilihan tidaklah serta merta meniru sistem secara umum, tetapi oleh Gereja telah memberi pemaknaan baru yang pada akhirnya GMIM mampu mewujudkannya dalam pelayanan. Hal itu terlihat dalam kegiatan-kegiatan Pemilihan sebagaimana yang dilakukan selama ini seperti yang diatur dalam Tata Gereja GMIM.
Kisah Para Rasul 1:15-26 mempertegas bagaimana campu tangan TUhan Allah dalam kehidupan umat-Nya, baik sejak di zaman lalu maupun hingga sekarang ini. Ternyata pemilihan Pelayan Khusus dan Komisi Pelayanan Kategorial tak dapat dipisahkan dari kerja selamat Tuhan Allah dalam Yesus Kristus bagi dunia ini. Dengan demikian kegiatan Pemilihan di semua aras pelayanan GMIM juga harus ditempatkan dalam karya selamat TUhan Allah di tengah-tengah pelayanan GMIM.
Pemilihan Matias menjadi seorang dari keduabelas rasul Tuhan, dilakukan didalam persekutuan brsama-sama yang di dalamnya ada pembacaan kitab suci yang disertai doa permohonan. Apa yang dilakukan rasul Petrus dan rasul-rasul yang lain adalah suatu ibadah. Hal ini mengingatkan GMIM bahwa Ibadah merupakan hal penting dalam kegiatan pemilihan di jemaat, wilayah dan sinode. Itu berarti, kegiatan pemilihan menjadi perwujudan kesetiaan dan ketaatan warga/jemaat kepada Tuhan. Bentuk atau cara apapun yang dilakukan dalam pemilihan, jika dilakukan dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan, maka pemilihan itu menjadi cara Tuhan untuk memilih orang-orang yang akan dipakai-Nya dalam kelangsungan karya selamat-Nya bagi dunia ini.

PERTANYAAN DISKUSI
  • Apakah hal yang menarik dalam pemilihan menurut Kisah Para Rasul 1:15-26?
  • Menurut saudara, tentangan apa yang akan dihadapi dalam Pemilihan di semua Aras Pelayanan GMIM dan bagaimana mengatasinya?
NAS PEMBIMBING: Yohanes 15:16
POKOK-POKOK DOA
  • Kesinambungan Pelayanan GMIM.
  • Tekad untuk melakukan Pemilihan dalam kesetiaan dan Ketaatan Kepada Tuhan.
  • Panitia Pemilihan dan Anggota Sidi Jemaat.
TATA IBADAH YANG DIUSULKAN: Hari Minggu Bentuk I
NYANYIAN YANG DIUSULKAN:
Persiapan: NNBT No.3
Pengakuan Dosa: NNBT No.27
Pemberitaan Anugerah Allah: NNBT No.9
Persembahan: KJ No.381
Penutup: NKB No.211
ATRIBUT YANG DIGUNAKAN:
Warna dasar hijau dengan simbol salib dan perahu di atas

Selasa, 27 Agustus 2013

RAHASIA MENJADI SUAMI ISTRI YANG SERASI

RAHASIA MENJADI SUAMI ISTRI YANG SERASI
“Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.” 1 Petrus 3:8-9
Banyak hal yang diidam-idamkan calon pengantin atas apa yang akan terjadi pada pernikahan mereka suatu saat. Banyak calon pasangan yang merasa yakin bahwa mereka pasti dapat mengatasi segala masalah yang akan datang menerpa pernikahan mereka. Mereka merasa yakin bahwa mereka telah mengenal satu sama lain dan bahkan sudah tahu keburukan masing-masing. Sehingga mereka yakin akan dapat mengatasi masalah apapun yang akan datang menerpa rumah tangganya.
Tetapi memimpikan pernikahan dan menjalani pernikahan adalah dua hal yang sangat berbeda. Hidup bersama dengan orang yang mempunyai latar belakang berbeda akan memunculkan masalah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Masalah sekecil apapun dapat menjadi masalah besar. Masalah tersebut dapat muncul dari kebiasaan yang berbeda antar pasangan, mulai dari cara menyimpan baju, cara menaruh handuk, cara menggosok gigi, cara mendidik anak, hingga masalah yang lebih rumit lagi seperti masalah keuangan dan lain sebagainya.
Tidak ada yang pernah tahu masalah apa yang akan muncul ketika kita menjalani suatu pernikahan. Semuanya akan terjadi dengan begitu saja tanpa pernah kita sadari.
Tidak sedikit pernikahan yang gagal karena mereka tidak menemukan jalan keluar atas masalah yang mereka hadapi. Pada akhirnya mereka menyerah dan memutuskan untuk berpisah, karena sudah tidak ada lagi kecocokan.
Keputusan untuk berpisah/bercerai tentunya bertentangan dengan Firman Tuhan. Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Matius 19:6
Lalu bagaimana caranya agar pernikahan dapat berlanjut hingga ajal memisahkan? Bagaimana caranya agar masalah-masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan baik? Bagaimana agar pertengkaran dapat dikurangi atau bahkan dihindarkan?
Firman Tuhan mengajarkan tiga rahasia utama bagi pernikahan agar dapat harmonis dan bertahan dalam menghadapi berbagai masalah:
1. Isteri tunduk kepada suami
“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu.” 1 Petrus 3:1-2
Isteri harus mengerti posisinya dalam pernikahan. Sebagaimana jemaat yang tunduk kepada Kristus, yang adalah kepala, maka isteri harus tunduk kepada suami yang merupakan kepala rumah tangga. Posisi ini tidak boleh dibalik, karena tidak mungkin Kristus tunduk kepada jemaat. Oleh karena itu Firman Tuhan dengan tegas mengatakan agar isteri tunduk kepada suaminya.
Bagi yang memiliki suami yang takut akan Tuhan, tentunya menerapkan hal ini tidak seberat jika suaminya belum mengenal Tuhan. Tetapi dalam kondisi apapun sang suami, entah dia bersikap baik ataupun buruk, isteri harus tetap belajar untuk tunduk kepada suaminya.
Sikap suami yang buruk tidak perlu dilawan dengan emosi, karena hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah justru akan bertambah runcing jika dihadapi dengan emosi.
Sikap sabar dan lemah-lembut harus dipraktekkan oleh isteri dalam menghadapi sikap suami yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Dengan sikap lemah-lembut inilah Roh Tuhan akan bekerja menjamah hati suami. Tidak ada cara yang paling ampuh selain cara Tuhan dalam memenangkan hati suami.
Sudah cukup banyak kesaksian yang menyatakan bahwa para suami akhirnya berubah total setelah melihat isteri mereka bersikap sabar dan lemah lembut dalam menghadapi kekasaran mereka. Banyak suami yang diubahkan ketika isteri mempraktekkan Firman Tuhan ini.
.
2. Suami menghormati isteri
“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.” 1 Petrus 3:7
Menjadi suami bukan suatu tugas yang mudah. Suami harus dapat menjadi kepala bagi pernikahan/rumah tangga-nya. Suami harus dapat menjadi pimpinan bagi keluarganya dan memberi teladan yang baik bagi anggota keluarganya.
Tetapi seringkali tanggung jawab yang besar ini sering membuat suami meremehkan isterinya. Suami sering beranggapan bahwa pendapatnya-lah yang benar dan tidak pernah mempedulikan pendapat isterinya. Sikap seperti ini dapat melukai hati sang isteri. Selain itu juga dapat menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah tangga.
Pada waktu Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi pendamping manusia pertama yaitu Adam, Tuhan mengambil tulang rusuknya Adam. Tuhan menciptakan penolong yang sepadan, bukan lebih rendah martabatnya.
“TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” ” Kejadian 2:18
Suami harus mengerti bahwa jika Tuhan telah menyatukan mereka dalam suatu pernikahan, maka Tuhan telah menjadikan mereka satu dan bukan dua lagi. Oleh karena itu suami harus menghormati isterinya sendiri sebagaimana dia menghormati dirinya sendiri.
Suami harus belajar mendengar dan menghargai pendapat isterinya. Suami yang mau menghormati isterinya dengan cara demikian akan mendapati bahwa Tuhan berkenan atas rumah tangga mereka. Tuhan akan memberi keharmonisan bagi pernikahan mereka.
3. Hidup Sehati
“Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.” 1 Petrus 3:8-9
Kesehatian adalah kunci utama bagi rumah tangga agar dapat diberkati oleh Tuhan. Saat isteri sudah tunduk kepada suami dan suaminya menghormati isterinya sebagai pasangannya yang sepadan, maka mereka harus selalu sepakat dalam keadaan apapun yang mereka hadapi.
Begitu banyak masalah yang membuat suami dan isteri harus mengambil keputusan. Tidak jarang pula ada perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan. Apapun yang menjadi keputusan akhir, suami dan isteri harus sama-sama sepakat di dalamnya. Jika salah satu tidak mendukung keputusan yang diambil, maka hal itu merupakan awal terjadinya masalah yang lebih besar lagi.
Dukunglah pasangan masing-masing. Tidak ada ruginya jika salah satu mau mengalah. Justru di saat ada kesehatian, Tuhan akan memberkati rumah tangga kita. Haleluya!
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.
Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.” Efesus 5:22-30


Senin, 26 Agustus 2013

MEMBAYAR PAJAK ADALAH PERINTAH YESUS



Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.





Definisi
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
Rifhi Siddiq
    Pajak adalah iuran yang dipaksakan pemerintahan suatu negara dalam periode tertentu kepada wajib pajak yang bersifat wajib dan harus dibayarkan oleh wajib pajak kepada negara dan bentuk balas jasanya tidak langsung
Leroy Beaulieu
    Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah
P. J. A. Adriani
    Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH
    Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment'
Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R
    Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''

Apa Kata Alkitab Tentang Membayar Pajak ?
Berkaitan dengan membayar pajak maka orang-orang Farisi dan Herodian datang menjumpai Tuhan Yesus dan bertanya: haruskah membayar pajak kepada Kaisar atau tidak ? pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan menjebak, sebab pada prinsipnya warga kekaisaran Romawi pada saat itu wajib membayar pajak kepada kaisar. Namun demikian orang-orang ini bermaksud untuk mencobai Tuhan Yesus dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu di tanyakan.
Jawaban Yesus tersebut diwujudkan sebelumnya dalam pembayaran pajak seperti yang ditulis dalam Matius 17 ayat 27 “…Ambillah uang itu dan bayarlah kepada mereka pajak kita untuk Rumah Tuhan.”
Jawaban tersebut adalah suatu ultimatum bahwa membayar pajak adalah suatu keharusan setiap individu/badan dalam suatu negara sebagaimana negara mengaturnya. Jawaban tersebut jauh sebelum Benjamin Franklin (1706 – 1790) berani menyimpulkan “nothing is certain but tax and dead“. Semua ini sudah menjelaskan bahwa pajak adalah sesuatu yang sangat vital bagi suatu negara. Seorang Leroy Beaulieu dari Prancis mengatakan “L’impot et la contribution, soit directe soit dissimulee, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens pur subvenir aux depenses du gouverenment”. bahwa pajak adalah suatu bantuan yang secara langsung maupun tidak yang dipaksakan untuk menutupi belanja pemerintah. Dalam Roma 13 ayat 1 dikatakan bahwa “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.”

Membayar Pajak Adalah Tanggung  Jawab Iman.
Bagi orang Kristen, memenuhi kewajiban membayar pajak adalah memenuhi suatu kewajiban demi kehendak Kristus dan teladannya. Ini hendak mengungkapkan bahwa membayar pajak adalah suatu kewajiban bagi setiap warga negara tanpa terkecuali. Mungkin sebagai wajib pajak kita tidak setuju dengan cara pemerintah dalam membelanjakan uang rakyat tersebut, namun kita perlu ingat, bahwa tugas kita sebagai wajib pajak adalah  taat dan jujur membayar pajak.
Kita diingatkan untuk tidak bersikap seperti orang Yahudi dan Herodian, yang pura-pura tidak tahu tentang kewajiban membayar pajak.
Sebaliknya kita di ajak untuk turut menupang program-program pemerintah dalam upaya mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang, melalui pembayaran pajak tepat pada waktunya. Hendaklah kita menyadari bahwa kesediaan kita dalam membayar  pajak, adalah sebagai ketaatan terhadap pemerintaha demi kesejahteraan bersama, sebagaimana pula diungkapkan dalam Yermia 29 : 7 “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan. Sebab kesejahteraanya adalah kesejahteraanmu.

Matius  17:25  “Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?"

Matius  22:17  “ Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?"

Matius  22:19  “”Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya.

Roma  13:6  “Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah.

Roma  13:7.  “Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.

Markus  12:14  “Orang-orang itu datang dan berkata kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan segala kejujuran. Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?"

Lukas   20:22  “Apakah kami diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?"

Lukas  23:2  “Di situ mereka mulai menuduh Dia, katanya: "Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja."

Minggu, 25 Agustus 2013

SIKAP GEREJA TERHADAP PEMERINTAH

Bahan Renungan Gereja Masehi Injili di Minahasa


Minggu 25 Agustus 2013.
NAS PEMBIMBING: 
Amsal 24:21

Bahan Alkitab:
  • Markus 12:13-17
  • Roma 13:1-7





ALASAN PEMILIHAN TEMA
Gereja yang diutus oleh Tuhan Yesus Kristus ke dalam dunia untuk menjadi terang dan garam dunia. Sebagai persekutuan orang-orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus dan yang menyandang status sebagai warga gereja adalah juga warga negara. Karena itu warga gereja memiliki status kewarganegaraan yang rangkap.
Di satu pihak dia adalah warga kerajaan Allah, tetapi di lain pihak adalah warga negara. Sebab kehidupan sebagai warga gereja tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya sebagai warga negara.
Demikian halnya dengan gereja secara intitusi. Gereja ada dalam kaitannya dengan institusi lain, khususnya Institusi pemerintah di mana dia ada. Sehubungan dengan hal ini maka diangkatlah tema tentang Sikap Gereja Terhadap Pemerintah. Hal ini bermaksud untuk memberikan pemahaman yang Alkitabiah tentang bagaimana sikap gereja terhadap pemerintah. Sebab tidak dapat disangkal bahwa masih banyak warga gereja yang belum paham mengenai hal ini dan masih banyak juga yang bersifat ambigu (mendua).
Dengan diangkatnya tema ini diharapkan supaya warga gereja khususnya GMIM, akan mendapatkan pemahaman yang Alkitabiah tentang bagaimana seharusnya gereja bersikap terhadap pemerintah, sebagai bagian dari implementasi iman.

PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Injil Markus pasal 12:13-17, mengisahkan tentang orang-orang Farisi (Golongan para rabi dan ahli Taurat yang berpegang pada kitab Tuarat dan adat-istiadat nenek moyang) bersama-sama dengan orang-orang Herodian (Para pengikut dan pendukung Herodes Antipas, anak Herodes Agung) yang datang mencobai Yesus dengan menyodorkan pertanyaan apakah boleh membayar pajak kepada Kaisar atau tidak. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang sifatnya menjebak. Sebab, menjadi kewajiban dari orang-orang Yahudi yang tinggal di tanah Palestina pada saat itu untuk membayar pajak kepada pemerintah Roma yang berkuasa atas negeri mereka. 
Sementara itu Kaisar adalah pemimpin tertinggi Romawi. Seandainya Yesus menjawab tidak, maka Ia dapat dituduhkan melakukan pelanggaran subversif, yakni tindakan yang melawan pemerintah. Sadar akan hal tersebut, juga karena mengetahui kemunafikan mereka, maka Yesus memberikan jawaban yang sangat tepat dan tidak berbelit-belit dengan menggunakan metode bertanya. Yesus meminta supaya mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Dinar adalah mata uang perak yang bergambar Kaisar Tiberius di satu sisinya dan di sisi lain bertuliskan: Tiberius Kaisar Agustus, anak Agustus
Yesus kemudian bertanya kepada mereka gambar dan tulisan siapakah itu? Mereka menjawab: Gambar dan Tulisar Kaisar. Berdasarkan jawaban itulah maka Yesus kemudian berkata: berikanlah kepada Kiasar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah (ayat 17).
Jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi dan Herodian adalah pernyataan sikap-Nya terhadap kaisar pada saat itu. Yesus ternyata tidak anti pemerintah, dalam hal ini Kaisar tetapi Ia sendiri adalah Raja di atas segala raja. Bahwasanya Kaisar mempunyai hak dan wewenang tertentu sehingga kepadanya perlu diberikan penghormatan dan ketaatan, antara lain dengan membayar pajak, tenpa mengabaikan ketaatan mutlak kepada Allah. Atas jawaban Yesus yang tegas, jelas dan tidak kabur maka mereka yang mendengarkan jawaban-Nya sangat heran, sehingga tidak dapat menuduhkan kepada-Nya hal-hal yang tidak patut.
Sikap Yesus seperti inilah yang mendasari kesaksian/pemberitaan para Rasul, di antaranya ialah Rasul Paulus. Bagi Paulus, pemerintah adalah mereka yang berkuasa, sebab kata pemerintah dalam perikop ini diterjemahkan dari kata exousia yaitu kuasa. Karena itu kepada jemaat di Roma rasul Paulus memberikan nasihat tentang bagaimana jemaat harus bersikap terhadap pemerintah. Paulus memahami bahwa pemerintah berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah (Roma 13:1). Pemerintah adalah hamba Allah (Yunani= diakonos gar Theou) untuk kebaikan banyak orang. Kepatuhan terhadap pemerintah haruslah dinyatakan, antara lain dengan membayar pajak, sebab mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah (Yunani: leiturgos gar Theou). Jadi, sikap Paulus terhadap pemerintah sangat jelas, sama seperti sikap Yesus, di mana baik Yesus maupun Paulus tidak membuat pertentangn antara persekutuan orang percaya (jemaat) dengan pemerintah tetapi justru mengajak jemaat untuk taat pada pemerintah. Paulus memahami bahwa pemerintah adalah hamba Allah/pelayan-pelayan Allah. Sebab itu mereka yang menyandang status sebagai hamba Allah, patut untuk dihormati.

Makna dan Implikasi Firman
Pemahaman serta sikap Tuhan Yesus dan rasul Paulus yang mendukung pemerintah, kiranya dapat menjadi panutan bagi gereja masa kini dalam menentukan sikapnya terhadap pemerintah. Pada dasarnya pemerintah memiliki kuasa dalam hal pengambilan keputusan untuk kepentingan banyak orang. Sebab itu Gereja secara institusi dan personal diingatkan untuk tidak terjerumus pada sikap yang kontra, ataupun masa bodoh, acuh tak acuh, sehingga tidak mau menopang program-program pemerintah demi mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang. Sebagai jemaat yang adalah warga negara, hendaklah menyadari akan kewajiban-kewajibannya terhadap negara, jemaat juga harus bersifat kritis terhadap pemerintah, dengan mencermati kebijakan-kebijakan publik yang diambil. Apakah kebijakan-kebijakan itu menyejahterakan masyarakat atau tidak? Jika ternyata kedapatan bahwa kebijakan yang diambil cenderung untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, maka selaku warga jemaat patut untuk menyampaikan suara kenabiannya secara baik dan sopan. Dalam hal-hal ini gereja dapat menjadi sebagai alat kontrol sosial.
Pemerintah sebagai pejabat publik yang memiliki wewenang untuk mengambil berbagai keputusan dan kebijakan dalam rangka pengelolaan berbagai sumber daya yang ada, perlu juga diberi kesadaran bahwa mereka adalah hamba Allah atau Pelayan Allah untuk mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang. Oleh sebab itu, mereka juga disebut sebagai pelayan masyarakat. Sebagai pelayan masyarakat tentu memerlukan dukungan dari warga jemaat dalam merealisasikan program-programnya. Dalam surat Titus 3:1 disebutkan: Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Pada prinsipnya orang-orang yang melaksanakan tugas pelayanan terhadap masyarakat perlu diberi penghormatan khusus, tanpa harus melebihi penghormatan kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Raja di atas segala Raja yang kepada-Nya segala bangsa akan datang sujud menyembah (Wahyu 15:4).

PERTANYAAN DISKUSI
  • Apakah sikap Yesus dan Rasul Paulus terhadap pemerintah masih relevan untuk konteks kita di Indonesia sekarang ini? Jelaskan.
  • Menurut pengamatan saudara, bagaimanakah cara Gereja bersikap terhadap pemerintah saat ini?
  • Bagaimanakah gereja harus bersikap terhadap pemerintah, kendati ada yang tidak seiman dengan kita?

POKOK-POKOK DOA
  • Berdoa untuk pemerintah selaku hamba Allah dalam melaksanakan tugas mereka untuk kesejahteraan banyak orang.
  • Berdoa untuk warga gereja (GMIM) untuk tetap giat bekerja dan menopang program-program pemerintah.
  • Berdoa untuk relasi antara gereja dan pemerintah.
TATA IBADAH YANG DIUSULKAN: HARI MINGGU BENTUK IV
NYANYIAN YANG DIUSULKAN:
Persiapan: PKJ No.2
Pembukaan: KJ No.19,1,5
Pengakuan Dosa: NNBT No.11
Berita Anugerah: NNBT No.20
Pembacaan Alkitab: KJ No.49
Persembahan: KJ No.337
Penutup: KJ No.336:1,3

Sabtu, 24 Agustus 2013

PERAN POLITIK UMAT KRISTEN DALAM MEMBANGUN BANGSA




PERAN POLITIK UMAT KRISTEN DALAM MEMBANGUN BANGSA
Etimologi
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota).
Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
*    politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik  Aristoteles)
 *  politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  *  politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  *  politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Kompetensi Moralitas
Kurang dari setahun lagi pemilu 2014 akan digelar. Melalui pesta demokrasi rakyat ini nantinya terpilih seorang presiden dan wakil presiden, ratusan wakil rakyar di (DPR), dan ribuan wakil rakyat di daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Mereka hanya sedikit dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia yang terpilih untuk menduduki jabatan politik strategis.
Karena itu, mereka mestinya bukan sosok yang biasa-biasa saja, melainkan manusia-manusia unggul yang terpilih karena kompetensi, kapabilitas, akseptibilitas, integritas, dan juga moralitas mereka. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang pilihan, karena di dalam diri mereka tertanam sikap dan hasrat kuat untuk “merendahkan dirinya” dan membaktikan seluruh perhatiannya pada kepentingan bangsa dan Negara.
Membangun Negara, memajukan kepentingan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah komitmen utama mereka. Mereka menjauhkan diri dari godaan-godaan untuk kepentingan sempit: diri, partai, kelompok, atau golongannya sendiri. Tak terbersit dalam diri mereka hasrat menduduki jabatan politik hanya demi kursi kekuasaan atau uang.
Mereka yang duduk dalam jabatan politik haruslah menjadi contoh untuk apa yang dengan tepat dikatakan Presiden AS ke-35 John F. Kennedy, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu sudah berikan bagi negaramu.”
Jelaslah, sebagai suatu panggilan hidup, jabatan politik mesti menampilkan figur terbaik dari anak-anak bangsa ini. Mereka menjadi contoh, layaknya tokoh-tokoh agama yang menjalani fungsi kenabian, meski mereka memiliki ladang pengabdian yang berbeda.

Partai sebagai Benteng
Undangan partai-partai politik- melalui iklan di berbagai media yang menawarkan jabatan politik kepada siapa saja yang berkompeten, hendaknya tidak disamakan dengan iklan lowongan pekerjaan yang lazim. Iklan semacam itu haruslah dimaknai sebagai undangan yang mulia dari partai-partai politik kepada mereka yang terpanggil untuk menduduki jabatan politik. Tentu, dengan niat tulus, yakni untuk mengabdi bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Selama ini, politik memang tidak jarang diidentikkan dengan ladangnya para pecundang. Politik itu kotor, karena para pelakunya tak pernah jauh dari sikap munafik, penuh intrik, saling hujat, dan saling menjatuhkan. Pemahaman seperti ini memang tidak sepenuhnya salah karena sehari-hari dapat kita saksikan perilaku para pemimpin busuk, politikus tak bermoral, dan elit-elit yang bernafsu mengangkangi jabatan publik yang diembannya.
Lihat saja, masih banyak Negara yang terus dirundung konflik serta kemiskinan, semata karena egoisme para pemimpinnya. Para pemimpin ini menjalani praktek politik tak bermoral, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (Machiavelli), dan kerap menempatkan manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homoni lupus, (Thomas Hobbes).
Di manakah akar permasalahannya? Akar persoalannya karena memang sudah terjadi “salah pilih”. Kita gagal memilih manusia unggulan, sebaliknya, dengan gampang kita menjatuhkan pilihan pada kaum medioker untuk menduduki jabatan publik. Akibatnya, banyak persoalan bangsa yang tak pernah selesai.
Karena nasib rakyat dan nasib bangsa menjadi taruhannya, maka penyeleksian yang ketat untuk mereka yang ingin menduduki jabatan tersebut adalah sebuah keharusan. Peran kunci untuk ini ada ditangan partai politik. Partai politik dituntut tanggung jawabnya untuk menghadirkan pemimpin yang memiliki kompetensi dan berdedikasi tinggi.
Di sini partai politik harus menjadi benteng terdepan dalam merekrut calon unggulan untuk menduduki jabatan politik, sekaligus benteng pertama yang menyekat masuknya para politikus busuk yang berambisi menduduki jabatan publik. Partai politik sudah selayaknya menanggalkan citra buruknya sebagi mesin uang pada setiap penyelenggaraan pemilihan Presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Seperti kegiatan-kegiatan lainnya, aktivitas politik tentu saja membutuhkan uang. Namun, membayar sejumlah dana untuk suatu jabatan publik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi sang calon, itu justru merendahkan martabat jabatan politik yang mulia itu.
Sebagaima Kemerdekaan bangsa ini yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk umat Kristen dan dan umat beragama lainnya, maka perjuangan membangun masa depan bangsa, adalah merupakan tanggungjawab seluruh warga Negara didalamnya umat Kristen di Indonesia. Ds. W.J. Rumambi (Sekjen I Dewan Gereja-gereja di Indonesia)   pada Sidang Konstituante tahun 1957. Dalam pidatonya mengatakan:

UMAT KRISTEN INDONESIA BUKAN WARGA NEGARA KELAS 2.
“Bagi kami negara ini adalah karunia Tuhan kepada tanah dan Bangsa Indonesia seluruhnya, yang wajib dipelihara. Oleh karena ini adalah karunia Tuhan, maka sudah sepatutnya kami bertanggung jawab penuh atasnya, baik terhadap sesama manusia maupun dan terlebih lagi terhadap Tuhan …
Tanggung jawab kami itu pertama-tama terhadap Tuhan kami dan selanjutnya terhadap sesama manusia. Kami pula yakin bahwa umat Kristen di Indonesia bukanlah suatu golongan yang tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia, melainkan bahwa umat Kristen adalah sebahagian yang mutlak daripada bangsa dan masyarakat Indonesia. Yang telah turut memperjuangkan dan mempertahankan tanah dan bangsa Indonesia, yang turut menderita bila bangsa Indonesia menderita, dan turut bersukaria jika Bangsa Indonesia bersukaria.
Tugas kami umat Kristen di Indonesia dalam lapangan kenegaraan ialah turut mengusahakan kesejahteraan, perdamaian, keadilan dan keterlibatan untuk seluruh rakyat Indonesia, baik dengan kata maupun dengan perbuatan, berdasarkan pada rencana keselamatan Tuhan kami yang nyata dalam Kitab Suci kami, Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia, demikian juga Juruselamat Indonesia! Ini keyakinan kami.”
- Pidato Ds. W.J. Rumambi (Sekjen I Dewan Gereja-gereja di Indonesia)
  pada Sidang Konstituante tahun 1957 -
 
MALFUNGSI POLITIK
Mengutip sebuah tulisan Pdt. DR. J N Gara, dimana menurut beliau bahwa dalam banyak kenyataan kita melihat terjadinya malfungsi politik.
Baik secara teoritis, apalagi secara teologis, politik sesungguhnya adalah baik dan berguna bagi kesejahteraan banyak orang. Tetapi dengan sedih kita melihat kenyataan di negara kita, politik hanya dijadikan alat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini ditandai oleh adanya praktek-praktek “saling menjatuhkan”, korupsi serta cara-cara kekerasan meskipun baru pada tahap kekerasan verbal. Begitu menonjolnya kepentingan pribadi, sehingga politik uang dianggap sesuatu yang sudah wajar. Rakyat dibius dengan sejumlah uang. Padahal kewajiban para politisi maupun lembaga politik adalah untuk memberikan pendidikan politik . Ini disebabkan karena politik dianggap tidak ada hubungannya dengan amanat atau misi dari Allah. Politik betul-betul disekulerkan dan dipisahkan dari amanat TUHAN yang sakral itu. Maka tidaklah mengherankan kalau politik dianggap tidak ada ada hubungannya dengan persoalan Kerajaan Allah. Bahwa dalam praktek orang lebih mengejar kepentingan pribadi dan golongan/partai, menunjukkan bahwa politik itu adalah untuk membangun “kerajaan pribadi atau golongan”. Itulah sebabnya di politik diselimuti dengan praktek-praktek kotor. Seakan sudah menjadi label bahwa politik itu kotor.
Pada sisi lain Gereja sendiri dengan sadar memisahkan diri dari politik. Artinya Gereja tidak sadar politik . Padahal khotbah-khotbah Gereja tentang Kerajaan Allah pada hakekatnya adalah kampanye politik Kerajaan Allah. Dengan begitu, Gereja menjadikan dunia politik adalah dunia yang tak terjangkau oleh Kerajaan Allah. Akibat lebih jauh adalah sistem pelayanan dan pemberdayaan Gereja tidak menyentuh bidang politik. Sebaliknya, Gereja lebih mudah membuat larangan daripada membuka lapangan lewat pemberdayaan bagi warganya yang berkecimpung di bidang politik.
Pada tataran praktis, penyebab malfungsi politik adalah terpikat godaan kuasa dan uang, kokohnya sistem politik yang oligarkis. Kalau ada yang berupaya menghubungkannya dengan keyakinan agama, sering terjadi salah tafsir terhadap iman dan misi di bidang politik seperti: mesianisma, ayat selektif, kepercayaan selektif, episodisme, kedangkalan dan kebanggaan semu .
Terpikatnya politisi oleh godaan kuasa, membuat kekuasaan yang sebenarnya adalah alat untuk menunaikan misi yang dipercayakan TUHAN di bidang politik, berubah menjadi tujuan. Kuasa yang sesungguhnya adalah wahana untuk melayani, tapi menjadi kesempatan untuk dilayani. Godaan akan kekuasaan itu berhubungan dengan uang. Untuk merebut kekuasaan, orang menggunakan uang (politik uang). Karena itu terjadi pengambilan keputusan demi uang. Sebab dengan uang maka kekuasaan dapat dipertahankan dan dilanggengkan. Ada pameo yang mengibaratkan kekuasaan itu bagaikan pedang, sedangkan uang adalah batu asah. Pedang kekuasaan perlu diasah supaya tetap tajam dan langgeng. Jadi tujuan politik dikerdilkan demi kekuasaan dan uang.
Kalau ada orang atau partai yang mengatas namakan misi agama dalam dunia politik, sering terjebak pada fenomena “messianisme”, yaitu suatu paham yang menganggap eskaton atau masa depan itu dapat diwujudkan oleh manusia atau sistem tertentu. Sering juga terjadi penggunaan ayat selektif untuk benarkan pendapat atau perasaan sendiri. Ayat itu dilepaskan dari konteks politik Kerajaan Allah. Padahal misi orang Kristen, termasuk yang terjun di bidang politik, bukan untuk mendirikan Kerajaaan Allah, tetapi mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah yang substansinya sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Banyak kali, para politisi terjebak pada kepercayaan gampangan. Kalau ide atau gagasan itu berasal dari pihak yang disenangi, maka itulah yang dipandang benar. Kalau dari pihak yang tidak disenangi, maka itu pasti salah dan harus disalahkan. Padahal seharusnya semua pandangan perlu diuji secara objektif dalam terang politik Kerajaan Allah.
Fenomena episodisme terlihat dalam kecenderungan untuk fokus pada hal-hal yang kontroversial, simplistik, emosional. Sedangkan isu-isu vital tidak diberi perhatian karena kurang atau “tidak sexy”. Selain itu juga kita menyaksikan gejala kedangkalan focus dalam diskusi-diskusi. Lihatlah fenomena tiadanya Garis Besar Haluan Negara yang bersifat jangka panjang. Yang ada hanya jangka menengah (tahunan) dan jangka panjang. Politisi tidak teloran pada hal-hal yang kompelks dan jangka panjang. Yang dikejar adalah kepentingan jangka pendek sesuai periode jabatan atau pemerintahan. Padahal, kehidupan politik itu menyangkut kepentingan jangka panjang bagi suatu bangsa.

PEMILU adalah bagian dari  Perjuangan Membangun Bangsa
Peran orang Kristen dalam masyarakat majemuk amat ditentukan juga oleh bagaimana kita melibatkan diri dalam pemilu. Dengan keikutsertaan kita dalam pemilu itu berarti kita telah turut menentukan masa depan bangsa.

Siapa yang Dipilih?
Bagaimana kita akan memilih? Pertama adalah dianjurkan agar kita menggunakan hak pilih, dan kedua, agar menggunakannya dengan bertanggungjawab.
Hendaknya kita menentukan pilihan kita dengan kritis dan rasional dan jangan dengan alasan yang sentimental-premordial. Jangan sampai suara kita terbuang dengan sia-sia. Namun bila tidak ada pilihan, secara pribadi kita juga dapat tidak memilih. Hanya saja jangan sampai ada yang menghalangi atau menghasut agar seseorang tidak menggunakan hak pilihnya. Bersikap golput tidak akan memecahkan masalah, bahkan akan mengurangi dorongan untuk terus membangun sistem yang demokratis dan handal.
Walaupun kemungkinan untuk merubah pasal 29 UUD’45 misalya telah amat kecil, namun akar masalahnya belum selesai. Masih akan selalu ada usaha untuk membelokkan arah pertumbuhan bangsa ini ke arah yang tidak diinginkan. Usaha itu tidak hanya akan terjadi di tingkat UUD dan di tingkat Pusat, tetapi terutama akan terjadi di daerah-daerah, seperti yang kita saksikan sekarang ini. Telah terjadi usaha-usaha untuk menerapkan hukum agama sebagai hukum negara dengan cara memindahkan begitu saja ketentuan partikular itu menjadi ketentuan publik.
Pemilu yang terjadi teratur dalam siklus 5 tahunan itu akan menghadirkan konstelasi politik yang pada gilirannya akan berfungsi mengelola berbagai permasalahan bangsa. Karena secara relatif jumlah orang Kristen lebih sedikit di tengah 240 juta bangsa, kehadiran kita akan dapat lebih bermakna dan optimal apabila kita dapat menghadirkannya dengan cerdas.
Bercermin pada kasus Korea Selatan, mungkin kita perlu mempertanyakan apakah perlu ada partai Kristen di Indonesia. Di Korea Selatan tidak ada partai Kristen, tetapi orang Kristen dapat berperan besar, bahu membahu dengan sesama warga membangun negara itu dan kinerja mereka mengagumkan.
Kita telah mempunyai sistem politik yang menjamin kepastian siklikal 5 tahunan, yang merupakan prasyarat bagi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dan penegakan hukum. Kita akan mengejar kembali ketertinggalan kita. Orang Kristen akan lebih berkesempatan untuk bekerja di tengah masyarakat, memperkuatnya menjadi masyarakat maju yang menjadi penopang yang kuat bagi negara yang demokratis dan bersatu.
Oleh karena itu perlu untuk direnungkan apakah tidak lebih baik kita memperkuat barisan kebangsaan Indonesia daripada membentuk kekuatan yang selain sulit dipersatukan, justru dapat menambah alasan bagi kehadiran partai sektarian pada pihak lain.

JABATAN POLITIK SEBAGAI PANGGILAN
Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.
Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuannya.
Mengutip TB Simatupang dalam buku Dari Revolusi ke Pembangunan (1987), dunia politik telah berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya tidak berbeda dengan panggilan para pahlawan yang gugur di medan peperangan. Keduanya sama-sama mengandung arti kesediaan untuk berkorban demi bangsa dan Negara. Keduanya sama-sama mewujudkan suatu panggilan hidup, tentu dengan cara yang berbeda.
Tokoh Politik Kristen diantaranya:    Johannes Leimena, W.J. Rumambi, Ruyandi Hutasoit.

Penutup...
Gereja yang kuat, bukan partai politik, merupakan dasar yang kokoh bagi peran orang Kristen di Indonesia. Gereja harus dapat memberikan bagi anak-anak Tuhan dasar-dasar pelayanan dalam masyarakan majemuk.
Pengajaran yang diberikan haruslah memampukan orang Kristen untuk memahami relevansi iman Kristen dengan kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebuah teologi kebersamaan perlu dikembangkan, sehingga orang Kristen dibekali dengan komitmen yang kokoh untuk membangun kesetiakawanan sosial dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Fundamental demikian akan memampukan orang Kristen untuk mengembangkan dan memperkaya gagasan-gagasan lintas agama di segala bidang bersama-sama dengan warga masyarakat lainnya.
Pada masa sekarang marilah kita terus bekerja mewujudkan nilai-nilai demokrasi, mendukung implementasi sistem politik demokratis yang telah kita punyai sekarang. Bekerja mewujudkan sistem politik yang demokratis akan sangat membantu mempersiapkan bangsa Indonesia mengarungi abad 21 dan ke depan.
Kita turut membangun solidaritas sosial yang inklusif, membangun kebersamaan di tengah-tengah perbedaan. Jangan kita menjadi faktor eksklusif yang menunjukkan ciri sektarianisme dalam pergaulan kemasyarakatan. Kita tidak boleh menjadi tamu di tengah bangsa kita.
Kita lanjutkan kerja membangun ekonomi masyarakat yang mengutamakan profesionalisme sebagai sumbangan nyata untuk membangun kebersamaan. Demikian pula usaha-usaha memajukan pendidikan di setiap strata.
Orang Kristen dapat berkiprah secara positif-konstruktif membangun Indonesia baru di setiap tingkatan, baik pada tingkat pengembangan gagasan, pada pembangunan sistem, pembangunan masyarakat dan pada lapangan kehidupan sehari-hari.