Selasa, 17 September 2013

PLURALISME AGAMA

(dan Fenomena Sosial-Politik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia)

 artikel:
Oleh: Yong Ohoitimur MSC
Judul di atas mengasumsikan fakta pluralitas agama-agama dan berbagai fenomena sosial-politik dalam kaitan dengan pluralitas agama tersebut. Sebutkan sebagai contoh, masalah sulitnya mendirikan rumah ibadat, masalah penangkapan terhadap mereka yang dituduh beraliran sesat, isu kristenisasi dan islamisasi, masalah kekerasan atas nama pemurnian agama, masalah legislasi yang berhaluan keagamaan, masalah politisasi agama, dan seterusnya. Menghadapi kompleksitas masalah-masalah itu, timbul dua pertanyaan yang mendesak untuk didiskusikan. Apa yang menjadi akar masalah pluralisme di Indonesia? Bagaimana membangun Indonesia yang masyarakat dan lingkungannya sangat plural?.
Berkaitan dengan pertanyaan pertama, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) melakukan analisis yang tajam tentang hubungan “agama dan negara”. Walaupun hubungan agama dan kekuasaan berbeda dari satu agama ke agama yang lain baik dalam praktek maupun dalam doktrinnya, namun pengalaman menunjukkan bahwa agama dan kekuasaan negara sulit dilepaskan. “Agama menjadi inti kekuasaan dan kekuasaan menjadi inti agama” (hlm. 532). Pandangan ini perlu kita periksa dalam realitas komunitas agama masing-masing.
Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Teoritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992) menjelaskan bahwa para pemimpin agama dalam Islam menurut hakikatnya tidak memiliki otoritas atas siapa pun. Mereka hanya memiliki wewenang keilmuan agama, karena itu suara mereka dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan kualitasnya tergantung pada tingkat pengetahuannya. Singkatnya, dalam Islam seorang ulama memiliki independensi yang utuh. Namun pandangan tersebut tentu saja berbeda dari komunitas Islam yang satu dengan komunitas Islam yang lain. Bernard Lewis dalam Bahasa Politik Islam (1994) menulis bahwa “Islam adalah agama yang sejak awal pertumbuhannya mengalami sukses luar biasa di bidang politik. Sejak semula Islam adalah agama para penguasa, atau agama yang mempunyai kekuasaan” (terkutip dalam Dhakidae, hlm. 533). Pengalaman di negerri kita sendiri bahwa penguasa selalu membutuhkan dukungan politik dari para ulama dan kaum santri.
Dalam bukunya Kebenaran yang HIlang (aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah) dengan sub judul Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (2007) Farag Fouda (Faraj Faudah), seorang pemikir Mesir berhaluan sekuler, mengambil posisi melawan konsep ideologis para ulama Islam Mesir yang membela politik Islam. Pokok yang diperdebatkan adalah hubungan agama dan politik, penerapan syariat Islam, dan institusi khalifah. Fouda tidak menentang argumen kubu lawannya dengan cara membongkar sisi kelam praktek politik dan kekuasaan dalam sejarah Islam sendiri. Ia, misalnya, menunjuk betapa sejarah politik sesudah Nabi sarat dengan jelek yang yang memalukan, bahkan tidak berperikemanusiaan. Sebagai salah satu contoh ia merujuk pada pembunuhan Usman bin Affan karena pertikaian politik antarsahabat Nabi. Jenazahnya ditolak dimakamkan di pekuburan Muslim, itu pun terjadi tiga hari sesudah kematiannya. Proses pemakaman Usman diselingi hujatan dan tindakan tak terpuji seperti meludahi jenazah, bahkan salah satu persendian mayat Usman dipatahkan. Di mata Fouda, fakta seperti itu menunjukkan hilangnya semangat ijtihad dalam berpolitik. Tentang kubu lawannya, ia menulis, “Mereka tetap berteriak atas nama Islam dengan sesuatu yang merendahkan Islam. Akibatnya Islam dianggap sebagai agama kaum fanatis, padahal ia adalah agama kaum lapang dada… Mereka memantulkan patologi-patologi kejiwaan yang mereka idap sendiri kepada Islam, sesuatu yang kita tolak atas nama agama pula dan selaku umat Islam” (hlm. 36 – 37). Pesan kuat dari pemikiran Fouda, yaitu apabila praktek politik merujuk kepada agama dan sejarahnya, baiklah keberpihakan politik dengan basis agama itu tidak menyembunyikan sisi kelam dari agama dalam politik. Agama wajib menyuntikkan kebenaran historis dan ideal bagi cara berpolitik. Karena moral dan spiritualitas agama itu bagaikan roh yang menghidupkan politik yang sejati.
Dalam sejarah Gereja Katolik, tercatat bahwa Konsili Lateran V (1215) menetapkan sistem pemerintahan teokratis. Dengan itu Gereja menggenggam dua kekuasaan sekaligus, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Implikasinya, agama Katolik dipaksakan menjadi agama negara, dan seorang pemimpin negara, seperti raja dan kaisar, harus mendapatkan restu dari Paus di Roma. Kekuasaan kepausan sendiri dipandang berasal dari delegasi ilahi, sementara pemerintah monarki dilegitimasi dengan hukum ilahi. Dengan teokrasi, gereja mengontrol semua bidang kehidupan. Paus pun tak ragu-ragu menjatuhkan hukuman bagi siapa saja, termasuk bagi seorang ilmuwan seperti Galileo Galilei.
Ketika dalam abad ke-18 pecah Revolusi Perancis, secara tak terhindarkan gereja ikut terseret ke medan pertikaian politik. Humanisme dan kebebasan yang sudah berkecambah sejak masa Renaissance (abad ke-15) menjadi nilai-nilai hakiki di era revolusi dalam wujud demokrasi. Akibatnya, Gereja mesti memihak gerakan restorasi monarki yang dianggap lebih melindungi hukum ilahi. Seruan Gereja untuk kembali kepada Tuhan, bukan manusia, dengan sendirinya menyiratkan penolakan terhadap demokrasi. Sejarah Prancis mencatat bahwa suasana keruh hubungan Gereja dan negara, agama dan politik, berlangsung tak kurang dari dua abad lamanya. Untunglah Gereja Katolik mampu belajar dari pengalamannya. Bahwa agar manusia dihormati martabat luhurnya, dan agar Gereja tetap komit dengan misi pewartaan Injil, maka Gereja harus perlu mengakui otonomi negara dalam berpolitik. Konstitusi  Pastoral Gaudium et spes [Konsili Vatikan II] 1965 akhirnya secara defenitif meninggalkan sistem teokrasi dan mendudukkan diri sebagai mitra pemerintah dalam melayani kesejahteraan umum. “Pro bono publico” (demi kebaikan umum) menjadi jiwa pengabdian yang mempertemukan Gereja dan negara, agama dan politik, karena hakikat moral dan spiritualnya niscaya terkoyak. Sebaliknya, janganlah negara memanfaatkan agama dan simbol-simbolnya sebagai instrumen politik, karena hal itu akan mendangkalkan praktek beragama menjadi formalitas yang superfisial.
Gerakan Reformasi Gereja-gereja Protestan yang dilakukan oleh Martin Luther dan John Calvin dengan benar mengkritik “kolusi suci” Gereja Katolik dan kekuasaan politik di abad pertengahan sejarah Eropa. Dari kalangan Gereja Katolik sendiri reformasi spiritual dilakukan oleh Fransiscus dari Asisi (1182-1226) sebagai protes terhadap kolusi tersebut dengan mengatakan bahwa Gereja harus kembali kepada tugas spiritualnya. William dari Ockham (1285-1346), seorang imam Fransiskan, juga melancarkan kritik dengan argumen bahwa negara memiliki otonomi mengurusi politik, dan tidak membutuhkian otoritas apa pun dari Paus di Roma. Artinya, sebelum Reformasi Protestantisme, sudah dilakukan upaya-upaya pembaharuan internal Gereja dalam kaitan dengan kekuasaan politik.
Sejarah Gereja-Gereja Kristen di Indonesia mencatat bahwa masuk dan berkembangnya Gereja di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari “hubungan baik” dengan pemerintah kolonial. Penguasa VOC pernah melarang para imam Katolik bekerja di Sulawesi Utara, sebaliknya memberikan keluasan kepada misi Protestan yang mewartakan Injil. Hal yang sama berlaku di Maluku. Pengalaman hubungan Gereja dan kekuasaan Orde Baru juga menarik untuk direfleksikan.
Namun yang lebih relevan dan mendesak untuk dikaji sekarang adalah pengalaman komunitas Gereja lokal sekarang dengan pemerintah. Sebuah contoh yang menarik dapat diambil dari kalangan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Dalam berbagai forum, kalangan muda dan pendeta GMIM melakukan otokritik yang sehat, bahwa Gereja terlalu dekat dengan pemerintah, dan politik terlalu kuat mewarnai penyelenggaraan kewenangan dalam Gereja. Walaupun tidak selalu kelihatan, tetapi “kedekatan” itu berdampak pada kebijakan publik yang pada giliranya dialami oleh komunitas agama lain sebagai diskriminasi.
Teori tentang good governance mengajarkan satu hal yang penting. Penguatan demokrasi terjadi seiring dengan pergeseran dari “government” ke “governance”. “Govern-ment” dan “Governance” sama-sama terkait dengan cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi administrasi, dst dalam rangka kepentingan umum suatu bangsa atau negara. Namun “government” berarti sistem di mana unsur pemerintah dominan dalam  menyelenggarakan kekuasaan politik. Dalam konteks itu, agama-agama merasa harus mendekatkan diri kepada kekuasaan untuk turut berpartisipasi demi kepentingannya. Pada “governance” penyelenggaraan kehidupan bersama tergantung pada tiga pilar, yaitu negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market).
1.   Negara (state, government) terdiri dari badan eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, polisi, dan mereka yang bertugas memberikan public service. Negara berfungsi menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; mengurus standar kesehatan; pendidikan dan standar keselamatan publik.
2.        Masyarakat meliputi organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, komunitas-komunitas agama, media massa, dsb. Masyarakat berperan mengontrol negara dan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana cheks and balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan SDM; sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Sedangkan,
3.    Pasar/Dunia Usaha terdiri dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM), korporasi nasioal/internasional, lembaga keuangan, dsb. Dunia Usaha bertugas menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; transfer ilmu pengetahuan dan tekhnologi kepada masyarakat; menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.
Dilihat dari teori tersebut, yaitu dalam perspektif “good governance” agama mengambil posisi dalam civil society dan antara lain menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Peranan agama ini akan semakin seimbang, dalam arti tidak menempel dan berpengaruh buruk terhadap kepentingan umum, apabila demokrasi semakin ditumbuhkan sehingga partisipasi, rules of law, transparansi dan akuntabilitas (=prinsip-prinsip good governance) semakin dipraktekkan. Dalam perspektif itu, dibutuhkan gerakan untuk memberdayakan good governance dalam institusi negara dan masyarakat.
Akhirnya, kemajemukan masyarakat Indonesia menuntun negara Indonesia kembali pada dasar negara, Pancasila, seperti yang diletakkan oleh founding fathers. Pancasila perlu dikembalikan sebagai dasar negara yang nilai-nilainya menjadi rujukan semua produk hukum di Indonesia. Hanya dalam bingkai Pancasila kita memiliki keseimbangan antara ruang kebebasan publik bagi setiap orang dan individu warga negara dan “privacy” masing-masing komunitas agama untuk mengurusi dirinya.
Kesimpulan, kita membutuhkan tiga hal. (a) Refleksi dan kajian mengenai pengalaman hubungan komunitas agama dengan kekuasaan negara (politik) untuk menentukan seberapa jauh kita sendiri menjadi penghambat pluralisme di negeri ini. (b) Good Governance dapat merupakan bingkai yang mendudukkan agama dalam posisi yang sehat terhadap negara (politik). (c) Pancasila sebagai dasar negara Indonesia perlu dikembalikan sebagai bingkai ideologi yang memberikan ruang bagi agama-agama untuk bereksistensi menurut hakikatnya; Pancasila juga perlu dikembalikan sebagai rujukan peraturan-peraturan hukum negara.
(Penulis: STF. Seminari Pineleng Manado)

Tidak ada komentar: