(dan Fenomena Sosial-Politik
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia)
artikel:
Oleh: Yong Ohoitimur MSC
Judul di atas mengasumsikan fakta
pluralitas agama-agama dan berbagai fenomena sosial-politik dalam kaitan dengan
pluralitas agama tersebut. Sebutkan sebagai contoh, masalah sulitnya mendirikan
rumah ibadat, masalah penangkapan terhadap mereka yang dituduh beraliran sesat,
isu kristenisasi dan islamisasi, masalah kekerasan atas nama pemurnian agama,
masalah legislasi yang berhaluan keagamaan, masalah politisasi agama, dan
seterusnya. Menghadapi kompleksitas masalah-masalah itu, timbul dua pertanyaan
yang mendesak untuk didiskusikan. Apa yang menjadi akar masalah pluralisme di
Indonesia? Bagaimana membangun Indonesia yang masyarakat dan lingkungannya
sangat plural?.
Berkaitan dengan pertanyaan
pertama, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara
Orde Baru (2003) melakukan analisis yang tajam tentang hubungan “agama dan
negara”. Walaupun hubungan agama dan kekuasaan berbeda dari satu agama ke agama
yang lain baik dalam praktek maupun dalam doktrinnya, namun pengalaman menunjukkan
bahwa agama dan kekuasaan negara sulit dilepaskan. “Agama menjadi inti
kekuasaan dan kekuasaan menjadi inti agama” (hlm. 532). Pandangan ini perlu
kita periksa dalam realitas komunitas agama masing-masing.
Nurcholish Madjid dalam buku
Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Teoritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992) menjelaskan bahwa para pemimpin agama dalam
Islam menurut hakikatnya tidak memiliki otoritas atas siapa pun. Mereka hanya
memiliki wewenang keilmuan agama, karena itu suara mereka dalam memecahkan
masalah-masalah keagamaan kualitasnya tergantung pada tingkat pengetahuannya.
Singkatnya, dalam Islam seorang ulama memiliki independensi yang utuh. Namun
pandangan tersebut tentu saja berbeda dari komunitas Islam yang satu dengan
komunitas Islam yang lain. Bernard Lewis dalam Bahasa Politik Islam (1994)
menulis bahwa “Islam adalah agama yang sejak awal pertumbuhannya mengalami
sukses luar biasa di bidang politik. Sejak semula Islam adalah agama para
penguasa, atau agama yang mempunyai kekuasaan” (terkutip dalam Dhakidae, hlm.
533). Pengalaman di negerri kita sendiri bahwa penguasa selalu membutuhkan
dukungan politik dari para ulama dan kaum santri.
Dalam bukunya Kebenaran yang
HIlang (aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah) dengan sub judul Sisi Kelam Praktek
Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (2007) Farag Fouda (Faraj
Faudah), seorang pemikir Mesir berhaluan sekuler, mengambil posisi melawan konsep
ideologis para ulama Islam Mesir yang membela politik Islam. Pokok yang
diperdebatkan adalah hubungan agama dan politik, penerapan syariat Islam, dan
institusi khalifah. Fouda tidak menentang argumen kubu lawannya dengan cara
membongkar sisi kelam praktek politik dan kekuasaan dalam sejarah Islam
sendiri. Ia, misalnya, menunjuk betapa sejarah politik sesudah Nabi sarat
dengan jelek yang yang memalukan, bahkan tidak berperikemanusiaan. Sebagai
salah satu contoh ia merujuk pada pembunuhan Usman bin Affan karena pertikaian
politik antarsahabat Nabi. Jenazahnya ditolak dimakamkan di pekuburan Muslim,
itu pun terjadi tiga hari sesudah kematiannya. Proses pemakaman Usman diselingi
hujatan dan tindakan tak terpuji seperti meludahi jenazah, bahkan salah satu persendian
mayat Usman dipatahkan. Di mata Fouda, fakta seperti itu menunjukkan hilangnya
semangat ijtihad dalam berpolitik. Tentang kubu lawannya, ia menulis, “Mereka
tetap berteriak atas nama Islam dengan sesuatu yang merendahkan Islam.
Akibatnya Islam dianggap sebagai agama kaum fanatis, padahal ia adalah agama
kaum lapang dada… Mereka memantulkan patologi-patologi kejiwaan yang mereka
idap sendiri kepada Islam, sesuatu yang kita tolak atas nama agama pula dan
selaku umat Islam” (hlm. 36 – 37). Pesan kuat dari pemikiran Fouda, yaitu
apabila praktek politik merujuk kepada agama dan sejarahnya, baiklah
keberpihakan politik dengan basis agama itu tidak menyembunyikan sisi kelam
dari agama dalam politik. Agama wajib menyuntikkan kebenaran historis dan ideal
bagi cara berpolitik. Karena moral dan spiritualitas agama itu bagaikan roh
yang menghidupkan politik yang sejati.
Dalam sejarah Gereja Katolik,
tercatat bahwa Konsili Lateran V (1215) menetapkan sistem pemerintahan
teokratis. Dengan itu Gereja menggenggam dua kekuasaan sekaligus, kekuasaan
spiritual dan kekuasaan duniawi. Implikasinya, agama Katolik dipaksakan menjadi
agama negara, dan seorang pemimpin negara, seperti raja dan kaisar, harus
mendapatkan restu dari Paus di Roma. Kekuasaan kepausan sendiri dipandang
berasal dari delegasi ilahi, sementara pemerintah monarki dilegitimasi dengan
hukum ilahi. Dengan teokrasi, gereja mengontrol semua bidang kehidupan. Paus
pun tak ragu-ragu menjatuhkan hukuman bagi siapa saja, termasuk bagi seorang
ilmuwan seperti Galileo Galilei.
Ketika dalam abad ke-18 pecah
Revolusi Perancis, secara tak terhindarkan gereja ikut terseret ke medan
pertikaian politik. Humanisme dan kebebasan yang sudah berkecambah sejak masa
Renaissance (abad ke-15) menjadi nilai-nilai hakiki di era revolusi dalam wujud
demokrasi. Akibatnya, Gereja mesti memihak gerakan restorasi monarki yang
dianggap lebih melindungi hukum ilahi. Seruan Gereja untuk kembali kepada
Tuhan, bukan manusia, dengan sendirinya menyiratkan penolakan terhadap demokrasi.
Sejarah Prancis mencatat bahwa suasana keruh hubungan Gereja dan negara, agama
dan politik, berlangsung tak kurang dari dua abad lamanya. Untunglah Gereja
Katolik mampu belajar dari pengalamannya. Bahwa agar manusia dihormati martabat
luhurnya, dan agar Gereja tetap komit dengan misi pewartaan Injil, maka Gereja
harus perlu mengakui otonomi negara dalam berpolitik. Konstitusi Pastoral Gaudium et spes [Konsili Vatikan II]
1965 akhirnya secara defenitif meninggalkan sistem teokrasi dan mendudukkan
diri sebagai mitra pemerintah dalam melayani kesejahteraan umum. “Pro bono
publico” (demi kebaikan umum) menjadi jiwa pengabdian yang mempertemukan Gereja
dan negara, agama dan politik, karena hakikat moral dan spiritualnya niscaya
terkoyak. Sebaliknya, janganlah negara memanfaatkan agama dan simbol-simbolnya
sebagai instrumen politik, karena hal itu akan mendangkalkan praktek beragama
menjadi formalitas yang superfisial.
Gerakan Reformasi Gereja-gereja
Protestan yang dilakukan oleh Martin Luther dan John Calvin dengan benar
mengkritik “kolusi suci” Gereja Katolik dan kekuasaan politik di abad
pertengahan sejarah Eropa. Dari kalangan Gereja Katolik sendiri reformasi
spiritual dilakukan oleh Fransiscus dari Asisi (1182-1226) sebagai protes
terhadap kolusi tersebut dengan mengatakan bahwa Gereja harus kembali kepada
tugas spiritualnya. William dari Ockham (1285-1346), seorang imam Fransiskan,
juga melancarkan kritik dengan argumen bahwa negara memiliki otonomi mengurusi
politik, dan tidak membutuhkian otoritas apa pun dari Paus di Roma. Artinya,
sebelum Reformasi Protestantisme, sudah dilakukan upaya-upaya pembaharuan
internal Gereja dalam kaitan dengan kekuasaan politik.
Sejarah Gereja-Gereja Kristen di
Indonesia mencatat bahwa masuk dan berkembangnya Gereja di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari “hubungan baik” dengan pemerintah kolonial. Penguasa VOC
pernah melarang para imam Katolik bekerja di Sulawesi Utara, sebaliknya
memberikan keluasan kepada misi Protestan yang mewartakan Injil. Hal yang sama
berlaku di Maluku. Pengalaman hubungan Gereja dan kekuasaan Orde Baru juga
menarik untuk direfleksikan.
Namun yang lebih relevan dan
mendesak untuk dikaji sekarang adalah pengalaman komunitas Gereja lokal
sekarang dengan pemerintah. Sebuah contoh yang menarik dapat diambil dari
kalangan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Dalam berbagai forum,
kalangan muda dan pendeta GMIM melakukan otokritik yang sehat, bahwa Gereja
terlalu dekat dengan pemerintah, dan politik terlalu kuat mewarnai
penyelenggaraan kewenangan dalam Gereja. Walaupun tidak selalu kelihatan,
tetapi “kedekatan” itu berdampak pada kebijakan publik yang pada giliranya
dialami oleh komunitas agama lain sebagai diskriminasi.
Teori tentang good governance
mengajarkan satu hal yang penting. Penguatan demokrasi terjadi seiring dengan
pergeseran dari “government” ke “governance”. “Govern-ment” dan “Governance”
sama-sama terkait dengan cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi
administrasi, dst dalam rangka kepentingan umum suatu bangsa atau negara. Namun
“government” berarti sistem di mana unsur pemerintah dominan dalam menyelenggarakan kekuasaan politik. Dalam
konteks itu, agama-agama merasa harus mendekatkan diri kepada kekuasaan untuk
turut berpartisipasi demi kepentingannya. Pada “governance” penyelenggaraan
kehidupan bersama tergantung pada tiga pilar, yaitu negara (state), masyarakat
(civil society), dan dunia usaha (market).
1. Negara (state, government)
terdiri dari badan eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, polisi, dan
mereka yang bertugas memberikan public service. Negara berfungsi menciptakan
kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang
efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan
accountable; menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; mengurus standar
kesehatan; pendidikan dan standar keselamatan publik.
2. Masyarakat meliputi organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), organisasi profesi, komunitas-komunitas agama, media massa,
dsb. Masyarakat berperan mengontrol negara dan menjaga agar hak-hak masyarakat
terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana cheks and balances
pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
mengembangkan SDM; sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Sedangkan,
3. Pasar/Dunia Usaha terdiri
dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM), korporasi nasioal/internasional, lembaga
keuangan, dsb. Dunia Usaha bertugas menjalankan industri; menciptakan lapangan
kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup
masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; transfer ilmu
pengetahuan dan tekhnologi kepada masyarakat; menyediakan kredit bagi
pengembangan UKM.
Dilihat dari teori tersebut,
yaitu dalam perspektif “good governance” agama mengambil posisi dalam civil
society dan antara lain menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Peranan
agama ini akan semakin seimbang, dalam arti tidak menempel dan berpengaruh
buruk terhadap kepentingan umum, apabila demokrasi semakin ditumbuhkan sehingga
partisipasi, rules of law, transparansi dan akuntabilitas (=prinsip-prinsip
good governance) semakin dipraktekkan. Dalam perspektif itu, dibutuhkan gerakan
untuk memberdayakan good governance dalam institusi negara dan masyarakat.
Akhirnya, kemajemukan masyarakat
Indonesia menuntun negara Indonesia kembali pada dasar negara, Pancasila,
seperti yang diletakkan oleh founding fathers. Pancasila perlu dikembalikan
sebagai dasar negara yang nilai-nilainya menjadi rujukan semua produk hukum di
Indonesia. Hanya dalam bingkai Pancasila kita memiliki keseimbangan antara
ruang kebebasan publik bagi setiap orang dan individu warga negara dan
“privacy” masing-masing komunitas agama untuk mengurusi dirinya.
Kesimpulan, kita membutuhkan tiga
hal. (a) Refleksi dan kajian mengenai pengalaman hubungan komunitas agama
dengan kekuasaan negara (politik) untuk menentukan seberapa jauh kita sendiri
menjadi penghambat pluralisme di negeri ini. (b) Good Governance dapat
merupakan bingkai yang mendudukkan agama dalam posisi yang sehat terhadap
negara (politik). (c) Pancasila sebagai dasar negara Indonesia perlu
dikembalikan sebagai bingkai ideologi yang memberikan ruang bagi agama-agama
untuk bereksistensi menurut hakikatnya; Pancasila juga perlu dikembalikan
sebagai rujukan peraturan-peraturan hukum negara.
(Penulis: STF. Seminari Pineleng Manado)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar