Rabu, 18 September 2013

"Ransel GMIM"


(sebuah potret perenungan,dalam ziarah pelayanan)
Oleh: Pdt.Lucky Rumopa STh

Tas ransel hampir disukai oleh semua kalangan dan umur. Selain karena modelnya yang beragam, kegunaannya termasuk multi fungsi. Apalagi dewasa ini ransel tidak lagi milik khusus kaum pria saja. Wanita pun mulai menggandrunginya. Belum lagi anak-anak sekolah yang paling suka memakai tas ransel. Karena semua buku-buku pelajaran ditambah alat tulis, atau laptop sekalipun bisa muat di dalamnya. Sayangnya ada penelitian yang justru menganggap tas ransel menyebabkan gangguan nyeri. Tetapi ada penelitian lagi yang mengatakan tas ransel baik untuk pertumbuhan tulang leher dan tulang belakang agar tubuh dapat lebih tegap. Hal ini tentu saja kembali pada bagaimana pemakaian yang tepat untuk tas ransel tersebut. Artinya tas ransel harus digunakan pada kedua bahu secara seimbang. Tetapi perhatikan juga lama pemakaian, jangan terus sepanjang hari ransel dipakai terus menerus. Tentu saja pasti nyeri. Oleh karenanya pemilihan dan pemakaian tas ransel harus sesuai baik untuk penggunaan dan sesuai juga dengan umur. Jadi, memilih tas untuk anak tidak sesederhana yang dikira. Pemilihannya harus cermat dan memerhatikan berbagai aspek, baik kenyamanan, kekuatan, keamanan, dan yang tak kalah penting, kesehatan.

Ransel juga dapat dikatakan “wadah” atau “pinggan” mengisi berbagai bekal dalam perjalanan “ziarah” hidup kita, Sebesar kebutuhan kita dalam perjalanan disesuaikan dengan ransel yang harus kita miliki. GMIM merupakan wadah organisasi gereja terbesar ke dua di Indonesia yang di perkirakan memiliki umat 815.678 ribu jiwa dari Total penduduk Sulawesi Utara sekitar 2,48 jt jiwa. Itu berarti sumbangsih GMIM dalam kontribusi pajak di daerah tergolong tinggi dan memainkan peranan penting dalam berbagai aspek pembangunan. GMIM dengan sistim organisasi “Sinodal” yang memiliki 103 pusat wilayah yang menyebar di Minahasa. Sejak berdiri pada tanggal 30 september 1934, menyatakan diri sebagai Gereja local yang hanya ada di tanah Minahasa, walaupun dengan memiliki kharakteristik yang esa, kudus, am dan rasuli, peranan GMIM bisa berimplementasi keluar dan bersifat “infklusif”. Dengan memiliki tenaga pendeta tetap 1.508 yang melayani di 886 jemaat yang tersebar di kabupaten kota, tentu memerlukan “ransel’ GMIM yang kuat dan tidak keropos dan mudah bocor! Bekal “wadah” GMIM yang dikemas sepanjang perjalanan melalui tata gereja yang telah mengalami beberapa kali revisi dari tahun ke tahun cukup membuktikan “ransel” GMIM memiliki kewibawaan “kelayakan”. Realitas yang pragmatis bila ransel-gmim sekedar pajangan dengan aksesorisnya dan menjadi symbol symbol teologis dan yang telah membawa kita pada segudang pertanyaan dari persoalan antara lain problematik UKIT yang dilematis, dan di tambah dengan intens kepemilikan yayasan di berbagai aras mengalami distorsi? Dan dapatkah kita menyebut ‘ransel” kita sedang digigit atau justru member diri digigit oleh kekuatan yang secara pragmatis dan sistimatis,yang pada akhirnya menghadirkan tikus tikus kecil mengerogoti peluang dan tantangan gereja dan kewibawaannya. Bekal demi bekal di dalam “ransel” kita telah letakan dengan berbagai pendekatan untuk memenuhi perjalanan kita (GMIM). Sebut saja laporan umum BPMS dalam SMST ke 25 ratatotok menyimpan bekal “usang’ dari persoalan intern yang secara institusi belum tersentuh. Ransel kita semakin padat oleh “jamur jamur” baru di bidang pengembangan sumber daya, dengan mematok investasi kas sinode ; 2 milliar untuk menghadirkan BPR yang akan direalisasikan pada semester I tahun 2013 tinggal kenangan sebuah aksesoris ransel saja! Ditambah dengan segudang pengembangan aset yang mengalami stagnan. Walau sering terasa nyeri dalam menanggung konsekwensi tetapi ransel-gmim memiliki daya tarik sendiri, maklum ini bukan sekedar “ransel” tetapi sebuah wadah yang turut memainkan peran penting dalam fenomena public yang memiliki dimensi ekonomi“politik” dalam konteks masyarakat.
Ransel tetap “ransel’ tapi isinya bisa berubah, maka ketika bekal di tahun 2007 harus diimplementasikan dengan berbagai tuntutan, maka sidang majelis sinode ke 75 tahun 2010 melihat ada hal hal krusial yang mesti di tinjau kembali. Legitimasi amanat SMTS di teling manado dan langoan memutuskan agar “adendum” Tata gereja tahun 2007 harus dilakukan sebagai bentuk penyulaman “ransel” yang lebih baik di pandang..Dalam pengertian istilah adendum adalah perubahan pasal pasal yang kurang jelas pada keputusan 2007, oleh sebab itu perubahan yang berlaku pada peristiwa siding istimewa Amurang harus di posisikan pada Peraturan TTG 2007. Sebab isi bisa diganti tetapi “ransel” kita adalah pergumulan bertahun yang di legalkan dalam Sidang resmi TTG 2007, isi bisa rusak dimakan cacing, tetapi ransel kita harus utuh inilah perjuangan “laskar kristen’

Istilah addendum merupakan istilah hukum yang lazim disebut dalam suatu pembuatan perjanjian. Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. (John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hal.11)..Pengertian Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu

Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. dengan demikian Adendum bukan peraturan "baru" tetapi mengikat pada pokok perjanjian,(TTG 2007) berdasarkan Pasal 1320 KUHP Perdata : “ransel” kita harus berhati hati menampung bekal “illegal” hal ini akan dan membuat wadah GMIM yang “kekar” tetapi memiliki tulang belakang keropos dan mudah patah, mengingat lembaga gereja juga dilindungi UU maka setidaknya apa yang kaisar punya kita berikan bagi kaisar dan apa yang menjadi bagian dari gereja di lakukan secara “konsekwen”. Wadah kita bukan sekedar isinya kuat tetapi bagaimana “ransel-gmim” kita ini bisa kuat menghadapi berbagai ancaman? Proyeksi dan prediksi kedepan,dapat membuat ransel kita bisa terkoyak koyak, sebab substansi “addendum” memberi alternative fungsi dalam pertumbuhan umat yang dapat mengembara dengan tuntutan yang ada, agar “wadah” kita berjalan tegak sesuai amanat agung Yesus kristus sebagai kepala gereja yang menghadirkan kata ‘syalom” tetap relevan dalam berbagai situasi dan kondisi yakni sebuah wadah (gereja) yang mandiri dalam persekutuan, kesaksian,dan melayani.
Pemakaian tas ransel tidak akan seimbang bila kita sendiri yang salah meletakan posisi dan kedudukannya, apapun itu akan memberi konsekwensi, tetapi inilah GMIM wadah yang menampung bekal yang besar memerlukan keterbukaan dan kesediaan menerima mengingat GMIM selain sebuah wadah spiritual dia juga adalah organisasi yang memiliki asset dan pemberdayanya, baik dibidang pendidikan,kesehatan dan usaha usaha provit lainnya. Dengan memiliki 967 pusat pendidikan (Tk,SD,SMP,SMA) dengan infrastruktur terbatas dan memprihatinkan setidaknya memberi warning bahwa betapa penting sebuah “ransel” itu yang disukai oleh banyak kalangan dengan harapan harapan baru untuk menghadirkan “produk” baru untuk mempersiapkan tiang tiang gereja masa depan yang berkwalitas dan memiliki daya saing di era kompetisi global. Ransel adalah tetap sebagai “ransel” (wadah) yang menampung semua beban dalam perjalanan kita. Pesta iman Sidang sinode tahun 2014 bulan maret memiliki moment untuk introspeksi dan restrospeksi dari perjalanan kita untuk menentukan langkah baru yang lebih baik, agar tidak terkoyak lagi dan mengalami tambal-sulam “ransel” kita. Rentan waktu perjalanan yang mendekati tahun ke 100 bersinode, GMIM setidaknya memiliki kecepatan meng-akses berbagai potensi “downstream dan upstream” kemampuan monitoring yang bukan sekedar penjabaran “renstra” melainkan kemampuan jaringan yang focus dan transparan. Ransel kita mengalami distorsi oleh karena kita terjebak dengan perilaku lama yakni masih menggunakan modem “konvensional” yang bekerja pada frekuensi kurang dari 4 kH padahal di era millennium ke 3 kita sudah mengantisipasi dengan Asymetric Digital Subcriber Line (ADSL) yakni sistim “akses” berkecepatan tinggi. Yakni selain memiliki daya proaktif, tetapi ransel kita juga harus diperlengkapi dengan sistim jaringan yang baik. Gaya konvensional dan konservatif turut memberi hasil stagnan dan tidak berkembang. Acuan laporan BPPS GMIM , dengan meninggalkan sisa peringatan di tahun 2012 dimana “ransel” kita masih terdapat pengelolaan keuangan yang secara parsial dan tidak terpusat. Belum adanya “tupoksi” turut memberi rentan polemik kita, modem konvensional turut dipengaruhi para perangkat “lunak” sebab selain sistim juga “humah eror” menjadi bagian ransel kita sering terseok seok. Ransel harus digunakan pada kedua bahu agar terjadi keseimbangan. Agenda pemilihan di semua aras GMIM telah memiliki produk “bekal” tinggal tergantung kita membawa “ransel” kita terasa nyaman di pundak kita.

(tulisan ini dipersembahkan untuk persiapan SMTS Bitung 2013. Penulis adalah ketua BPMJ Baitel batusaiki Wilayah manado Utara IV).

Tidak ada komentar: