Penerjemah : N. Susilo Rahardjo
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Tahun terbit : 2012
Dimulai dari diri sendiri
Siapakah pelayan Kristen, dan bagaimana peran yang dimainkan? Trull dan Carter menyebutkan: para pelayan Kristen memiliki peran yang unik di antara semua panggilan atau pekerjaan. Lanjutnya, "...tidak ada panggilan (pekerjaan) yang secara etis menuntut sebagaimana halnya pelayan Kristen. Tidak ada pekerja profesional yang begitu diharapkan akan meneladankan moralitas seperti halnya seorang pelayan atau pendeta".
Berdasarkan hal itu, karakter merupakan hal dasar bagi setiap pelayan. Karena karakter mendorong setiap orang bertanya: "bagaimana seharusnya aku?" (pertanyaan tentang citra atau konsep diri). Dari situ akan muncul: "apa yang seharusnya aku perbuat?" (tindakan keluar). Seorang pelayan yang memiliki citra diri keliru tentang panggilannya berakibat pada tindakan yang juga akan keliru. Sebab, tindakannya bukan keluar dari karakter atau kebajikan, tetapi hanya untuk "memuaskan" orang lain. Seorang pelayan yang sekadar memuaskan kebutuhan jemaat, cepat atau lambat akan mengalami "titik" di mana ia tidak bisa lagi mempertahankan "topeng" yang dikenakannya. Dengan kata lain, tanpa karakter, pelayanan gereja akan jatuh menjadi sebuah manipulasi pelayanan atau pelayanan yang manipulatif. Bahaya. Maka, Trull dan Carter mengusulkan standar kesempurnaan moral pelayanan. Katanya, "standar kesempurnaan moral pelayan adalah integritasnya: hidup utuh secara etis dan dewasa secara moral" (hlm. 17).
Etika dan moral seperti itu tidak tumbuh secara otomatis, begitu seseorang menjadi pelayan gereja. Hal itu terkait erat dengan konsep diri yang benar tentang panggilan pelayanan. Berkaitan dengan itu, maka ada dua hal penting: bagaimanakah seseorang memasuki pelayanan Kristen? Apakah harus menerima panggilan Allah, atau sekadar memilih (sebagai) profesi? Dengan kata lain, pelayanan itu pekerjaan/karir atau profesi?
Kedua penulis buku ini menelusuri asal kata dan cara penerapannya tentang profesi. Dengan cermat, Trull dan Carter menyimpulkan soal profesi, dengan mengutip Darell Reeck (1983), demikian: "Kebudayaan Yudeo-Kristen sejak masa Alkitab hingga Reformasi menanamkan konsep profesi dengan prinsip moral pelayanan yang didasarkan pada visi agamawi tentang Allah yang bekerja sama dengan umat demi kemaslahatan semua ciptaan. Doktrin vocatio atau panggilan menjadi tema moral dan agama yang paling memperjelas makna profesi dan pekerjaan profesional."
Berdasarkan hal itu, Trull dan Carter mengembangkan lebih lanjut dalam konteks modern. Menurut keduanya, kata itu telah mengalami kemerosotan makna. Profesi tidak lagi dikaitkan dengan persoalan moral dan kesejahteraan bersama. Melainkan telah jatuh menjadi akumulasi pendidikan spesialis, rasional dan -cenderung-teknis semata. Karena itu, diusulkan supaya menggabungkan berbagai definisi sosiologis dan teologis, supaya tidak kehilangan tanggung jawab moral etis dari mereka yang menyebut dirinya "kaum profesional", yaitu harus memuat, paling tidak, empat unsur penting: pendidikan terspesialisasi, konsep tentang panggilan melayani khalayak, regulasi diri (termasuk kode etik), dan otonomi (hlm. 29). Dengan kata lain, profesi merupakan kombinasi pengetahuan teknis dan perilaku yang bertanggung jawab. Atau, berpadunya pengetahuan dan karakter.
Mendasarkan pada pemahaman tersebut, pelayanan gereja adalah sebuah profesi, yang mengacu (dan mencapai) pada standar kesempurnaan pelayanan. Standar praktik profesional pelayanan Kristen mencakup enam kewajiban etis: pendidikan atau terus belajar (2 Tim 2: 15), kompetensi: mengembangkan dan menyempurnakan karunia pastoral (Ef. 4: 11-12), otonomi: harus berani mengambil tanggung jawab walau mungkin mengandung bahaya seperti citra Kristus (Yoh. 13: 1-16), pelayanan: motivasi pelayanan berdasarkan kasih Kristus (1 Kor 13), dedikasi (Rom 1: 11-17), dan etika: menegakkan disiplin etis menurut standar moralitas Kristen tertinggi (1 Tim 3: 1-7).
Semua itu dapat terlaksan bukan karena faktor luar tetapi bersumber dari dalam. Pelayan gereja yang profesional, yang menggabungkan antara pengetahun dan karakter, untuk berhasil memerlukan kekuatan dari dalam diri. Melembagakan pengetahuan untuk menjadi perilaku yang berkarakter diperlukan semangat dari dalam untuk terus mengasah hati dan membiasakan karya nyata. Tanpa kekuatan dari dalam diri, semangat melayani para pelayan akan padam seiring bertambahnya waktu, dan menuanya fisik.
Kehidupan pribadi pelayan
Berkaitan dengan kehidupan pribadi pelayan, paling tidak ada empat hal penting yang perlu diperhatikan: ego, keluarga, uang , dan seks. Di sinilah integritas menjadi hal yang sangat penting dalam menentukan jalan hidup pelayan.
Pelayan gereja senantiasa hidup dalam ketegangan antara dua kenyataan: kemanusiaan mereka (jati diri, watak, kelebihan dan kekurangan) dan tuntutan panggilan/pelayanan. Jika tidak mampu mengendalikan ego, akan melahirkan harga diri yang rendah (minder) atau sebaliknya tinggi (selalu mengambil tanggung jawab/otoritas orang lain). Supaya baik dan seimbang, pelayan sebaiknya mengembangkan harga diri yang sehat, sehingga bisa melihat bahwa kualitas nilai dan harga diri mereka tidak terkait dengan pelayanan. Identitas pelayan terletak di dalam kepribadian mereka, dan bukan pada pelayanan mereka (hlm. 86).
Selain itu, pelayan yang baik perlu mengembangkan kesehatan fisik dan rohani mereka untuk menunjang pelayanan. Mengatur waktu doa, kunjungan kepada jemaat, dan pelayanan lainnya secara bijaksana merupakan kunci menjaga kesehatan pelayan. Dengan mengikatkan diri pada jemaat pelayanan yang berorientasi pada jadual tidak selalu mudah. Oleh sebab itu, mengambil waktu khusus (libur dan/atau cuti) merupakan cara untuk tetap menjaga kesehatan fisik dan rohani. Menekuni dan menjalankan hobi juga merupakan cara lain menjaga keseimbangan dan kesehatan fisik dan emosi.
Gaya hidup juga merupakan unsur penting dalam pelayanan. Gaya hidup seharusnya mengukuhkan dan bukan menggoyahkan pemberitaan Injil Tuhan. Dengan kata lain, sangat bertolak belakang ketika seorang pengkotbah menganjurkan kesantunan hidup, tetapi dalam setiap percakapan formal atau informal sering mengucapkan kata-kata umpatan kotor. Trull dan Carter memberi contoh untuk konteks Amerika, demikian: mengkotbahkan "larangan" dan disiplin pribadi sambil menjalankan gaya hidup konsumtif tidaklah konsisten (hlm. 90).
Pertumbuhan spiritual diperoleh melalui disiplin spiritual. Salah satu kegiatan itu adalah doa (pribadi) rutin. Kegiatan lain bisa berupa penelaahan Alkitab, ibadah, dan melakukan pelayanan kepada sesama. Melalui kegiatan seperti itu pelayan gereja akan terus hidup dalam pertumbuhan spiritual yang baik. Pelayan akan mengalami pertumbuhan spiritual berkelanjutan melalui berbagai kegiatan yang dilakukannya untuk dan bersama jemaat. Semakin melayani jemaat, semakin efektif pelayanan, dan pertumbuhan spiritual akan terjadi secara berkelanjutan.
Semua hal tersebut: pengembangan nilai diri, menjaga kesehatan, gaya hidup, pertumbuhan spiritual juga harus dikembangkan dalam keluarga. Semua pencapaian yang luar biasa di jemaat, tetapi tidak berakar dalam keluarga akan menimbulkan kegoncangan. Ibarat pohon, tanpa akar kuat akan gampang tercerabut. Begitu juga, kehidupan keluarga pelayan merupakan dasar penopang pelayanan gereja. Selalu berusaha untuk menyediakan waktu untuk keluarga, di tengah kesibukan pelayanan, merupakan langkah bijakasana dan hidup seimbang. Pendeta yang sukses dalam pelayanan tetapi gagal dalam keluarga merupakan ironi kehidupan pelayan dan pelayanannya. Hal ini juga merupakan salah satu sumber kejatuhan pendeta.
Tanpa topangan keluarga yang sehat, pelayan gereja mengalami banyak godaan dan goncangan. Salah satu yang sering dialami adalah uang, kemudian seksual, dan kekuasaan. Trull dan Carter selalu mengingat nasihat salah seorang professor di masa lalu, katanya: "Anak-anak, bayarlah tagihan-tagihan kalian!". Ini sederhana, tapi mendalam. Kalau seorang pelayan tidak mampu mengelola keuangan dan pendapatannya, ia akan tergoda menggunakan dana jemaat. Kejatuhan pendeta karena uang, biasanya terkait dengan gaya hidup.
Mengutip sebuah penelitian, Trull dan Carter, menjelaskan gaji yang rendah membuat pelayan sulit bersungguh-sungguh terhadap panggilan mereka dan beralih ke profesi atau pelayanan lain. Kompensasi yang tidak memadai juga mengubah pelayanan: dari panggilan menjadi karir. Akibatnya, banyak pelayan pindah ke tempat lain, bahkan sebagian besar terpaksa melakukan pekerjaan sambilan atau mengandalkan pendapatan dari pasangan yang bekerja. Artinya, disiplin anggaran, kemampuan mengelola kekurangan anggaran, dan seni menyeimbangkan neraca keuangan adalah keterampilan dasar yang mesti dimiliki para pelayan Kristen. (hlm. 99). Harapannya, melalui itu, pelayan tidak gampung jatuh dalam godaan dan gocangan keuangan.
Pendeta yang "terpisah" dengan kehidupan keluarga juga gampang jatuh dalam pelukan dan godaan seks. Kehidupan yang kering dari keintiman emosional dan seksual dengan pasangan, sementara jemaat mengharapkan pendeta lebih dari sekadar penolong atau konselor, mendorong menguaknya "kesempatan bertemu harapan" (tumbu oleh tutup). Inilah yang disebut sebagai counter-transference. Kebutuhan dan harapan pribadi yang belum terpenuhi diproyeksikan kepada orang lain. Warga jemaat dan pendeta bisa melakukan counter-transference pada saat yang sama. Kehidupan yang sepi warga memperoleh "perlindungan" pendeta; demikian juga kegagalan membangun komunikasi dalam keluarga pendeta seolah memperoleh jendela dari kepasrahan dan kepercayaan warga yang meminta konseling.
Kasus-kasus penyelewengan seksual memang tidak bisa dilihat dari satu aspek saja. Kasus ini menjelaskan banyak hal mengenai pribadi-pribadi warga jemaat dan pelayannya, dan relasi tidak sehat yang berkembang di dalamnya. Persoalan harga diri, perasaan gagal dan sakit hati, pelayanan terselubung, kemarahan terhadap pasangan, ambisi dalam pelayanan (memenuhi kepuasaan warga jemaat), terlalu lelah bekerja, ....inilah nilai-nilai yang menggerogoti kehidupan moral pelayan, demikian Trull dan Carter menegaskan.
Godaan kekuasaan dalam jemaat lebih banyak ditentukan oleh bagaimana pendeta menggunakan kecakapan teologisnya untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih berpusat pada diri daripada jemaat. Anti-kritik, cenderung otoriter dan kurang mendengar aspirasi jemaat merupakan beberapa godaan berkaitan dengan kekuasaan. Kalau hal itu dibiarkan memang bisa mengarah kepada kehidupan jemaat yang polaristis dan antagonistis. Warga jemaat boleh jadi tidak lagi menjadi teman tetapi lawan, are you a friend or foe to me? Pendeta, lalu mengeluh: jemaat lebih memusuhi daripada mendukung pelayanan saya. Sebetulnya, kalau pelayan bisa membangun konsep diri dan nilai diri yang sehat, godaan untuk menggunakan pengetahuan teologis bagi penumpukan dan penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi. Bukankah kekuasaan sebetulnya adalah bagaimana membentuk relasi satu sama lain untuk kehidupan bersama yang lebih baik? Sebab, tanpa kekuasaan tidak akan ada gerakan untuk membentuk kehidupan yang lebih baik, demikian Michel Foucault pernah bilang.
Kode etik pendeta: sebuah peta moralitas
Berdasarkan hal-hal yang dijumpainya dalam medan pelayanan yang cukup panjang, lebih dari 20 tahun, Trull dan Carter, menyerukan pentingnya sebuah kode etik, atau peraturan yang memandu perilaku para pelayan Gereja atau code of conduct. Namun, bagi keduanya, kode etik atau panduan perilaku lain tidak harus menghilangkan kreativitas dan pengembangan otoritas kependetaan para pendeta atau pelayan gereja. Hal itu tidak bisa terlalu rinci dan kaku, atau sebaliknya longgar dan tak ada petunjuk jelas. Mungkin lebih tepat adalah sebuah prinsip yang bisa dikembangkan oleh para pelayan gereja secara kreatif.
Sebagai prinsip dia harus cukup jelas, tetapi tidak harus mengatur secara detail tentang perilaku para pelayan. Sebab, kehidupan pelayanan gereja adalah sebuah ruang di mana kreativitas, kemandirian, dan kematangan personal dan moral sangat diperlukan. Dengan prinsip itu, para pelayan akan terus didorong mengembangkan pemikiran teologis dan etis yang berguna bagi pengembangan jemaat dan pribadi demi pertumbuhan pelayanan gereja, baik untuk warganya dan masyarakat yang lebih luas. Pendeta yang kreatif, mandiri, dewasa secara etis dan moral akan mampu tidak hanya menolong jemaat menghadapi kerasnya kehidupan dunia, tetapi juga mampu membawa gereja secara organisasional dalam berdialog dengan masyarakatnya, sehingga gereja akan selalu menjadi tempat bagi pencarian sumber moralitas dan etika bagi setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar