Selasa, 17 September 2013

Indonesia dan Pluralisme


Saat kita diajukan sebuah pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari 300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak. Dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia dengan beragam hasil kebudayaannya menjadikan tantangan dalam menciptakan sebuah integrasi sosial. Dengan struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangatlah terbuka bagi Indonesia untuk selalu menghadapi konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit membangun integrasi secara tetap. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanaman konsep pluralisme.

Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.

Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores ), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.

Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.

Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai negara berkembang, yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.

Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas, mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya.

Realita Tak Semanis Kerangka

Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang memprihatinkan.  Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk diatasi.

Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.

Ditengah kerangka nation building, Indonesia mendapat tantangan dari kepluralisme-an yang disandangnya. Setelah selama lebih kurang satu abad “proyek” nation building diselenggarakan, nyatanya masih belum tuntas juga. Stabilitas sosial dan politik yang relatif terpelihara sepanjang pemerintahan orde baru sempat menimbulkan keyakinan bahwa proyek pembangunan bangsa (nation building) nyaris usai. Namun saat ini proses nation building tengah berbalik arah. Demokratisasi dan desentralisasi pascareformasi ternyata tidak memperkuat sentimen kebangsaan, tetapi justru membuka ruang bagi munculnya kembali sentimen-sentimen antipluralisme. Pancasila, yang sebelumnya dipercaya sebagai sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna.

Hilangnya satu faktor kuat yang dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif bangsa atau pemersatu bangsa menjadi masalah krusial. Sesekali perasaan menjadi satu muncul, seperti saat beberapa atlet negeri memenangkan kejuaraan internasional, tsunami di Aceh, atau ketika Malaysia “merampas” pulau dan budaya Indonesia. Namun semua itu hanya letupan api sesaat yang mudah hilang. Pada momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik oleh konflik horisontal antarkelompok, seperti saat pemilu. Pluralisme yang terkait dengan karakter dan jatidiri bangsa, dalam realitas aktual juga menunjukkan suatu “kebangkrutan moral” diberbagai bidang : korupsi, mafia hukum, tawuran dan kemunafikan dalam politik. Hal ini tidak relevan untuk mengacu pada tata nilai tradisional yang dianut oleh etnik nusantara dengan sikap dan tatakrama terhadap sesama dan lingkungan.

Hal-hal diatas membuat rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap negara. Keberpihakan yang rendah dari elite-elite terhadap nasib rakyat menjadi pemicunya. Di tengah krisis kepercayaan ini, rakyat mencari perekat alternatif yang dapat menimbulkan rasa aman. Repotnya, pengalaman yang mereka temukan bukanlah berskala nasional, tetapi lokal atau partikular. Agama, bahasa, etnisitas, dan lokalitas adalah simbol-simbol yang mereka pandang lebih konkret ketimbang simbol-simbol nasional, seperti Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Identitas pluralisme tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan kehidupan sehari-hari, cepat membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor pendorong gerakan massa, bahkan revolusi.

Pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa juga masih menyisakan rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang ataupun Perda bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling sensitif ketika membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks pluralisme tidak hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Sepanjang 2011, menurut data yang dihimpun oleh Center for Religious and Cross-curtural Studies (CRCS) dan beberapa pemberitaan media massa, setidaknya ada 36 kasus yang diduga berlatar belakang agama terjadi di 14 provinsi di Indonesia. Angka tersebut hanya menunjukan permasalahan ibadah belum mencakup semua permasalahan yang dipicu oleh mispresepsi dan miskomunikasi antar umat beragama (Republika, 2012). Pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam berbeda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, ataupun dengan Hindu. Hal itu tidak bisa disamakan. Tak cukup kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki pandangan keagamaan lain, situasi diperparah dengan munculnya berbagai RUU dan Perda yang menafikkan keragaman sosio-kultural-religius masyarakat. Padahal dalam perundang-undangan nasional ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan agama tidak dapat dijadikan hukum tertulis. Dalam hukum, ketiganya disebut sebagai norma otonom. Jika diformalkan, berarti negara mencampuri urusan privat warganya.

Kesenjangan dan sakralisasi pembangunan yang dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya telah melahirkan banyak korban. Uniformalitas terhadap budaya lokal dengan dalih kesatuan dan persatuan adalah contoh yang nyata. Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru tidak mendudukan pembangunan dengan konteks lokal, pembangunan hanya berorientasi pada pusat, sehingga kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan oleh daerah. Perubahan paradigma kekuasaan sentralis menjadi paradigma kekuasaan berbasis daerah (desentralis) melalui kebijakan otonomi daerah memberikan nafas baru dalam upaya membangkitkan kembali modal sosial berupa spirit lokalitas yang telah lama hilang. UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian UU No.32 Tahun 2004 membawa misi penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang sudah lama termarjinalkan pusat, serta membingkai kembali masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun pada kenyataannya sejak era reformasi, justru kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Permasalahan antaragama seperti dibahas sebelumnya, ras dan suku menjadi contohnya.

Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia ternyata malah memberi kecenderungan penguatan aspek-aspek antipluralisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda. Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah pemerintah selalu di hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban; Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang politik dan aspirasi masyarakat secara luas.

Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan  dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi nasional). Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dengan  demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan Integrasi Nasional.

Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap “kambing hitam”, mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial. Bung Karno pernah berkata bahwa dari lima sila Pancasila jika diperas maka akan menjadi Tri Sila yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Dari Tri Sila tersebut jika diperas lagi maka akan menjadi satu perkataan yaitu gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari semua sila Pancasila. Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan, namun semua itu harusnya tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam membangun bangsa.

Mempertahankan dan Menghargai Pluralisme

Sebenarnya konsep multikulturalisme sangat cocok diterapkan. Konsep ini adalah dengan mempertahankan identitas masing-masing, tetapi dengan tambahan pengembangan nilai saling menghargai secara alamiah. Sejak jaman Soekarno dengan pendekatan romantika nasionalismenya sampai pada Soeharto dengan konsep disiplinnya belum ada yang menunjukkan hasil positif terhadap kemajemukan negara ini. Adanya arus globalisasi, menjadikan masyarakat ini berkembang sangat cepat, dengan adanya gerakan demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan gerakan lain yang menjunjung tinggi keanekaragaman. Peluang global semacam ini ditangkap baik oleh kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia dan justru memperkuat identitas masing-masing. Pemikiran pluralisme justru kuat dimasa lampau ketika negara berkuasa penuh, sehingga politik keseragaman itulah yang tertanam dalam masyarakat. Namun kini dengan adanya demokratisasi, maka terbuka peluang bagi mereka untuk menyatakan dirinya masing-masing.

Kembali ke konsep Soekarno tadi, Pancasila. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan suatu keharmonisan antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu. Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif, memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralis, tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Semboyan tersebut masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi sesuatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari seiring dengan kebangkitan negeri untuk kerangka pembangunan bangsa.

Tidak ada komentar: