Saat kita diajukan sebuah
pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul
jawaban Indonesia. Ya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan
yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai
Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki
karakteristik sosial, budaya dan bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang
berbeda. Hal ini tercermin dari 300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia
sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya
terbanyak. Dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia dengan beragam hasil
kebudayaannya menjadikan tantangan dalam menciptakan sebuah integrasi sosial.
Dengan struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangatlah terbuka bagi
Indonesia untuk selalu menghadapi konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan
sulit membangun integrasi secara tetap. Oleh karena itu, perlu adanya suatu
penanaman konsep pluralisme.
Pluralisme dalam perspektif
filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan
menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama
lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan;
dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi
asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi
ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas
dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya pluralisme
merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut bagaimana hubungan
antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.
Sementara kebudayaan dapat
dimaknai sebagai fenomena material, sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193).
Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu
masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan
(folkways) dan tata kelakuan (mores ), tetapi suatu sistem perilaku yang
terorganisasi.
Penggalian budaya nasional bukan
diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan
perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam
berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian
dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan
pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan
merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan
nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional
yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru
yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya
masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan
kepribadian bangsa.
Pluralisme masyarakat dalam
tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang,
kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan
kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang
atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai
lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan
berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Ciri utama
masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah
orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial
mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.
Masyarakat Indonesia dikenal
sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat
pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun
satu jua). Kemajemukan Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai
negara berkembang, yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam
berbagai aspek kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan
sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang
tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.
Masyarakat Indonesia dan kompleks
kebudayaannya, masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam).
Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu
situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok
masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokkan dengan yang lainnya, demikian
pula dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi
dari homogenitas, mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan
ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya.
Realita Tak Semanis Kerangka
Masalah yang biasanya dihadapi
oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara
kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan
nasional. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku,
ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa
Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali
mengalami pasang surut yang memprihatinkan.
Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan antarsuku dan
agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk diatasi.
Adanya berbagai konflik ini
biasanya mendekatkan kita pada satu konsep Etnosentrisme. Secara formal,
Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah
pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai
patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau
ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan
sendiri.
Ditengah kerangka nation
building, Indonesia mendapat tantangan dari kepluralisme-an yang disandangnya.
Setelah selama lebih kurang satu abad “proyek” nation building diselenggarakan,
nyatanya masih belum tuntas juga. Stabilitas sosial dan politik yang relatif
terpelihara sepanjang pemerintahan orde baru sempat menimbulkan keyakinan bahwa
proyek pembangunan bangsa (nation building) nyaris usai. Namun saat ini proses
nation building tengah berbalik arah. Demokratisasi dan desentralisasi pascareformasi
ternyata tidak memperkuat sentimen kebangsaan, tetapi justru membuka ruang bagi
munculnya kembali sentimen-sentimen antipluralisme. Pancasila, yang sebelumnya
dipercaya sebagai sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna.
Hilangnya satu faktor kuat yang
dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif bangsa atau pemersatu bangsa menjadi
masalah krusial. Sesekali perasaan menjadi satu muncul, seperti saat beberapa
atlet negeri memenangkan kejuaraan internasional, tsunami di Aceh, atau ketika
Malaysia “merampas” pulau dan budaya Indonesia. Namun semua itu hanya letupan
api sesaat yang mudah hilang. Pada momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik
oleh konflik horisontal antarkelompok, seperti saat pemilu. Pluralisme yang
terkait dengan karakter dan jatidiri bangsa, dalam realitas aktual juga
menunjukkan suatu “kebangkrutan moral” diberbagai bidang : korupsi, mafia
hukum, tawuran dan kemunafikan dalam politik. Hal ini tidak relevan untuk
mengacu pada tata nilai tradisional yang dianut oleh etnik nusantara dengan
sikap dan tatakrama terhadap sesama dan lingkungan.
Hal-hal diatas membuat rakyat
kehilangan kepercayaannya terhadap negara. Keberpihakan yang rendah dari
elite-elite terhadap nasib rakyat menjadi pemicunya. Di tengah krisis
kepercayaan ini, rakyat mencari perekat alternatif yang dapat menimbulkan rasa
aman. Repotnya, pengalaman yang mereka temukan bukanlah berskala nasional,
tetapi lokal atau partikular. Agama, bahasa, etnisitas, dan lokalitas adalah
simbol-simbol yang mereka pandang lebih konkret ketimbang simbol-simbol
nasional, seperti Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia
Raya. Identitas pluralisme tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan kehidupan
sehari-hari, cepat membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor pendorong
gerakan massa, bahkan revolusi.
Pluralisme yang berjalan seiring
pembangunan bangsa juga masih menyisakan rangkaian produk aturan bermasalah,
seperti Undang-Undang ataupun Perda bernuansa syariah di sejumlah daerah.
Memang, hal yang paling sensitif ketika membicarakan isu pluralisme adalah
agama. Meskipun konteks pluralisme tidak hanya bersinggungan dan konsen pada
bidang teologi, hanya saja memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya
akan berhubungan dengan ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat
pada keyakinan, iman, dan kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Sepanjang 2011, menurut data yang
dihimpun oleh Center for Religious and Cross-curtural Studies (CRCS) dan
beberapa pemberitaan media massa, setidaknya ada 36 kasus yang diduga berlatar
belakang agama terjadi di 14 provinsi di Indonesia. Angka tersebut hanya
menunjukan permasalahan ibadah belum mencakup semua permasalahan yang dipicu
oleh mispresepsi dan miskomunikasi antar umat beragama (Republika, 2012).
Pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam berbeda dengan Kristen,
dengan Buddha, dengan Katolik, ataupun dengan Hindu. Hal itu tidak bisa
disamakan. Tak cukup kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki
pandangan keagamaan lain, situasi diperparah dengan munculnya berbagai RUU dan
Perda yang menafikkan keragaman sosio-kultural-religius masyarakat. Padahal
dalam perundang-undangan nasional ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan
agama tidak dapat dijadikan hukum tertulis. Dalam hukum, ketiganya disebut
sebagai norma otonom. Jika diformalkan, berarti negara mencampuri urusan privat
warganya.
Kesenjangan dan sakralisasi
pembangunan yang dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya telah melahirkan
banyak korban. Uniformalitas terhadap budaya lokal dengan dalih kesatuan dan
persatuan adalah contoh yang nyata. Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru
tidak mendudukan pembangunan dengan konteks lokal, pembangunan hanya
berorientasi pada pusat, sehingga kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan
oleh daerah. Perubahan paradigma kekuasaan sentralis menjadi paradigma
kekuasaan berbasis daerah (desentralis) melalui kebijakan otonomi daerah
memberikan nafas baru dalam upaya membangkitkan kembali modal sosial berupa
spirit lokalitas yang telah lama hilang. UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian
UU No.32 Tahun 2004 membawa misi penguatan masyarakat lokal dalam rangka
peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal, pengembalian martabat dan
harga diri masyarakat daerah yang sudah lama termarjinalkan pusat, serta
membingkai kembali masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun pada kenyataannya
sejak era reformasi, justru kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban
daripada modal bangsa Indonesia. Permasalahan antaragama seperti dibahas
sebelumnya, ras dan suku menjadi contohnya.
Urbanisasi dan industrialisasi
Indonesia ternyata malah memberi kecenderungan penguatan aspek-aspek
antipluralisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan
masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan ini berkembang bersama proses
transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah pemerintah selalu di
hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban; Pertama, membangun
negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial.
Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang politik dan aspirasi
masyarakat secara luas.
Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah,
satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi
otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi
nasional). Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah
untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di daerah
sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan
Integrasi Nasional.
Pemahaman pluralisme budaya
diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain
pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap “kambing hitam”, mengingat belum
bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial.
Bung Karno pernah berkata bahwa dari lima sila Pancasila jika diperas maka akan
menjadi Tri Sila yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan.
Dari Tri Sila tersebut jika diperas lagi maka akan menjadi satu perkataan yaitu
gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari semua sila Pancasila.
Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan, namun semua itu
harusnya tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam membangun bangsa.
Mempertahankan dan Menghargai
Pluralisme
Sebenarnya konsep
multikulturalisme sangat cocok diterapkan. Konsep ini adalah dengan
mempertahankan identitas masing-masing, tetapi dengan tambahan pengembangan
nilai saling menghargai secara alamiah. Sejak jaman Soekarno dengan pendekatan
romantika nasionalismenya sampai pada Soeharto dengan konsep disiplinnya belum
ada yang menunjukkan hasil positif terhadap kemajemukan negara ini. Adanya arus
globalisasi, menjadikan masyarakat ini berkembang sangat cepat, dengan adanya
gerakan demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan gerakan lain yang menjunjung
tinggi keanekaragaman. Peluang global semacam ini ditangkap baik oleh
kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia dan justru memperkuat identitas
masing-masing. Pemikiran pluralisme justru kuat dimasa lampau ketika negara
berkuasa penuh, sehingga politik keseragaman itulah yang tertanam dalam
masyarakat. Namun kini dengan adanya demokratisasi, maka terbuka peluang bagi
mereka untuk menyatakan dirinya masing-masing.
Kembali ke konsep Soekarno tadi,
Pancasila. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi
pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila
seharusnya bisa ditemukan suatu keharmonisan antara pluralitas agama,
multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar
terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat
kemanusiaan itu. Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia
dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis,
bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya
tercapai. Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses membentuk
kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif, memiliki sikap budaya
kosmopolitan dan pluralis, tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur
sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat
bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan Bhinneka
Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Semboyan tersebut masih
merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan
agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang
mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi sesuatu yang tangguh. Sehingga
ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari seiring dengan
kebangkitan negeri untuk kerangka pembangunan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar