Jumat, 01 November 2013

Allah Kehidupan, Pimpinlah Kami untuk Keadilan dan Perdamaian.



Refleksi atas Perayaan Hari Reformasi Martin Luther, 31 Oktober 2013
Oleh : Pdt.Dr. Karolina Augustien Kapahang Kaunang

Mengingat dan merayakan Hari Reformasi Gereja, 31 Oktober 2013 bersamaan dengan pelaksanaan Sidang Raya X Dewan Gereja-gereja seDunia di Busan, Korea tanggal 30 Oktober - 8 NOvember 2013. Berikut ini refleksiku.
 
Judul utama tulisan ini adalah tema Sidang Raya X Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) yang berlangsung di Busan-Korea Selatan pada tanggal 30 Oktober – 8 November 2013. Sekretaris Jendral DGD, Olav Fykse Tveit berpendapat bahwa tema ini diilhami oleh perintah yang terkenal dalam Ulangan 30:19 “Pilihlah kehidupan”. Mengapa tema ini? Tema ini melukiskan pergulatan masyarakat Asia pada umumnya yang mengalami perpecahan akibat pertentangan ideologi, warisan pemerintahan diktator militer, makin lebarnya jurang antara orang miskin dan kaya, pelanggaran HAM yang berat, dan krisis ekologi yang makin parah. Tema ini dalam bentuk seruan atau doa permohonan agar Allah kehidupan itu pula yang menuntun gereja-gereja dan semua orang beriman memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Ia menegaskan keterkaitan erat antara kehidupan, keadilan dan perdamaian. Ketiganya adalah anugerah Allah Sang Sumber segala sesuatu. Di dalam doa ini terkandung kesaksian bahwa kehidupan itu adalah anugerah Allah. Ia juga mengatakan jika pada abad ke-20 fokus gerakan ekumene pada keesaan gereja-gereja, maka pada abad ini fokusnya pada martabat manusia. Kehidupan yang bermartabat di dalam komunitas yang adil merupakan tolok ukur kesaksian dan tindakan bersama agama-agama.
Kata keadilan dan perdamaian disandingkan bukan tanpa makna. Perdamaian hanya akan terwujud ketika ada keadilan. Keadilan adalah tolok ukur perdamaian. Romo Eddy Purwanto dari Konferensi Wali Gereja di Indonesia (KWI)berpendapat rumusan tema ini bukan saja logis tetapi juga mengandung misi pastoral yang jelas. Perdamaian itu hanya akan terwujud ketika ada keadilan. Kalau tidak ada keadilan maka suasananya akan seperti Indonesia. Baginya Indonesia tidak pernah damai karena keadilan itu masih sangat jauh. Buktinya, rentan antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Pdt. Gomar Gultom , Skeretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) berpendapat bahwa dunia sekarang ini masih dipenuhi isu-isu seperti kemiskinan, ketidakadilan, persoalan ekologis dan juga radikalisme agama. Oleh sebab itu diharapkan dari sidang raya ini dapat membuat gereja-gereja menjadi alat perdamaian di tengah konflik. Baik konflik internal yang terjadi dalam negara maupun antar negara, demikian pula konflik agama. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan dan ekologi juga menjadi tanggungjawab gereja. Gereja dipanggil ke dunia untuk menata dunia, agar dunia ini menjadi rumah yang aman bagi semua. Pdt. Joas Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, berpendapat bahwa tanpa keadilan dan perdamaian, kehidupan dapat dimanipulasi untuk memperkaya kehidupan sebagian orang dengan ongkos kematian orang lain. Juga tanpa keadilan dan perdamaian, kehidupan dapat diselewengkan menjadi kehidupan individual atau kelompok tertentu, sambil tetap abai pada kehidupan individu atau kelompok lainnya.
Bagi saya, tema ini adalah penegasan kembali atas apa yang telah lama menjadi program DGD yaitu Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau yang lebih dikenal dengan JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation). Hanya saja setelah 55 tahun DGD berdiri dan berkarya, dan setelah 9 kali bersidang raya, maka sidang raya ke-10 ini secara khusus dan terus terang menyatakan dalam temanya tentang keadilan dan perdamaian sebagai dua hal esensi dalam kehidupan berekumene dalam misinya di dunia yang dilandaskan pada pengakuan iman bahwa Allah itu pemilik kehidupan. Hanya di dalam Allah ada kehidupan. Bila gereja-gereja anggota DGD mengakui Allah kehidupan, maka dogma-dogma gereja-gereja harus mengacu pada pengakuan ini. Dogma gereja-gereja ada untuk kehidupan di dalam Dia, bukan untuk mempertentangkan dan mengadili satu dengan yang lain. Pengakuan iman bahwa Allah pemilik kehidupan bersumber dari pengakuan utama kita ialah Allah adalah pencipta langit, bumi, laut serta segala isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Ciptaan-Nya itu adalah baik, dan karenanya tolok ukur bahwa sesuatu itu adalah ciptaan-Nya bila ada kebaikan. Pengakuan iman ini harus nyata dalam proses pengambilan keputusan dan penyusunan program kerja mulai dari aras basis bergereja yaitu jemaat-jemaat. Sehingga pada aras sinodal, dalam perhelatan sidang-sidang gerejawi yang tertinggi sekalipun, hanyalah sarana bersama untuk memandang bersama (sin-hodos) secara teologis alkitabiah akan hakikat bergereja sebagai Tubuh Kristus dalam dunia. Bila pengakuan iman kita bahwa kehidupan kita dari Allah, maka dalam konteks dunia yang ketiadaan damai karena keadilan masih jauh dari kenyataan bersama, tema sidang raya ini yang memohon kepada Allah untuk memimpin kita pada keadilan dan perdamaian menjadi sangat-sangat relevan.
Pada satu pihak permohonan kepada Allah kehidupan untuk memimpin pada keadilan dan perdamaian berkonteks dunia, tetapi juga, pada pihak lain permohonan ini untuk kehidupan internal bergereja-gereja kita. Sehingga pertanyaan untuk refleksi kita ialah apakah gereja-gereja pada dirinya sendiri telah berdamai satu dengan yang lain di tengah banyak perbedaannya? Apakah artinya pengakuan bahwa Kepala Gereja kita hanya Dia, Yesus, Tuhan, Juruselamat kita, terimplementasi dalam penyusunan dan penetapan serta pelaksanaan program bergereja masing-masing? Apakah gereja-gereja masih berada pada posisi utama yaitu melayani daripada memimpin? Jangan-jangan utopia kita tentang hidup damai masih sangat jauh karena belum ada keadilan. Jangan-jangan keadilan yang kita praktekkan adalah adil bagi yang sejalan dengan kita, yang sepekepentingan dengan kita. Lebih jauh lagi, jangan-jangan keadilan dan damai itu hanya untuk melanggengkan kepentingan kepemimpinan dan kekuasaan tertentu dan menjegal orang lain. Jangan-jangan pemahaman kita tentang damai yang dipraktekkan dalam rapat-rapat atau sidang-sidang hanyalah pada tahap ‘tutup mulut dan tutup hati’ agar tidak gaduh, tidak kacau, tidak terpecah, jaga nama baik lembaga dan para pengambil keputusan. Jangan-jangan gereja-gereja semakin terjebak pola kepemimpinan ‘sekuler’ yang berjenjang, yang birokratis dan sentralistik, sehingga makin menjadi tertutup pada kemungkinan baru yang elegan dan yang berpihak pada keadilan. Jangan-jangan kita sedang abai terhadap kehendak Dia, Kepala Gereja kita. Kalau demikian halnya, maka kita harus kembali kepada sumber kehidupan itu, sumber bergereja dan kepala gereja kita. Ya, kita harus bertobat.
Hari ini, gereja-gereja Protestan sedang mengingat dan merayakan peristiwa penting dalam bergereja sepanjang abad yaitu Reformasi dari Martin Luther. Dialah sosok Imam yang berani melakukan otokritik dengan menempelkan 95 dalil teologis eklesiologis yang secara khusus menentang praktek penghapusan siksa dengan menjual surat penghapus siksa, di pintu gereja istana Wittenberg Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517. Meski untuk itu dia dikucilkan dari komunitas berimannya. Berikut ini saya kutip tiga dalilnya. Dalil 1: “Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus, ketika Ia mengucapkan “Bertobatlah”, dan seterusnya, menyatakan bahwa seluruh hidup orang-orang yang percaya harus diwarnai dengan pertobatan.” Dalil 94 : “Orang-orang Kristen harus dinasihati untuk setia mengikuti Kristus Sang Kepala mereka melalui penderitaan, kematian, dan neraka.” Dalil 95 : “Dan dengan demikikan yakin untuk memasuki sorga melalui penganiyaan, bukannya melalui damai sejahtera yang palsu.” Untuk menjawab banyaknya pertanyaan tentang hakikat bergereja kita pada masa kini, marilah kita ingat hakikat reformasi : ecclesia reformata semper reformanda (gereja reformasi yang selalu perlu direformasikan), dan marilah kita berdoa “Ya Allah Kehidupan, Pimpinlah kami untuk Keadilan dan Perdamaian”. (sumber a.l dari website WCC2013, Berita Oikoumene, edisi Juli 2013. DGD beranggotakan 345 gereja-gereja Protestan, Ortodoks, Anglikan, di 110 negara, dan bekerja sama dengan gereja Roma Katolik)
Tomohon, 31 Oktober 2013
Penulis: Pdt.Dr.Agustien Kaunang.