Refleksi atas Perayaan Hari Reformasi Martin Luther, 31
Oktober 2013
Oleh : Pdt.Dr. Karolina Augustien Kapahang Kaunang
Mengingat dan merayakan Hari Reformasi Gereja, 31 Oktober
2013 bersamaan dengan pelaksanaan Sidang Raya X Dewan Gereja-gereja seDunia di
Busan, Korea tanggal 30 Oktober - 8 NOvember 2013. Berikut ini refleksiku.
Judul utama tulisan ini adalah tema Sidang Raya X Dewan
Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) yang berlangsung di Busan-Korea Selatan pada
tanggal 30 Oktober – 8 November 2013. Sekretaris Jendral DGD, Olav Fykse Tveit
berpendapat bahwa tema ini diilhami oleh perintah yang terkenal dalam Ulangan
30:19 “Pilihlah kehidupan”. Mengapa tema ini? Tema ini melukiskan pergulatan
masyarakat Asia pada umumnya yang mengalami perpecahan akibat pertentangan
ideologi, warisan pemerintahan diktator militer, makin lebarnya jurang antara
orang miskin dan kaya, pelanggaran HAM yang berat, dan krisis ekologi yang makin
parah. Tema ini dalam bentuk seruan atau doa permohonan agar Allah kehidupan
itu pula yang menuntun gereja-gereja dan semua orang beriman memperjuangkan
keadilan dan perdamaian. Ia menegaskan keterkaitan erat antara kehidupan,
keadilan dan perdamaian. Ketiganya adalah anugerah Allah Sang Sumber segala
sesuatu. Di dalam doa ini terkandung kesaksian bahwa kehidupan itu adalah
anugerah Allah. Ia juga mengatakan jika pada abad ke-20 fokus gerakan ekumene
pada keesaan gereja-gereja, maka pada abad ini fokusnya pada martabat manusia.
Kehidupan yang bermartabat di dalam komunitas yang adil merupakan tolok ukur
kesaksian dan tindakan bersama agama-agama.
Kata keadilan dan perdamaian disandingkan bukan tanpa makna.
Perdamaian hanya akan terwujud ketika ada keadilan. Keadilan adalah tolok ukur
perdamaian. Romo Eddy Purwanto dari Konferensi Wali Gereja di Indonesia
(KWI)berpendapat rumusan tema ini bukan saja logis tetapi juga mengandung misi
pastoral yang jelas. Perdamaian itu hanya akan terwujud ketika ada keadilan.
Kalau tidak ada keadilan maka suasananya akan seperti Indonesia. Baginya
Indonesia tidak pernah damai karena keadilan itu masih sangat jauh. Buktinya,
rentan antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Pdt. Gomar Gultom ,
Skeretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) berpendapat bahwa
dunia sekarang ini masih dipenuhi isu-isu seperti kemiskinan, ketidakadilan,
persoalan ekologis dan juga radikalisme agama. Oleh sebab itu diharapkan dari
sidang raya ini dapat membuat gereja-gereja menjadi alat perdamaian di tengah
konflik. Baik konflik internal yang terjadi dalam negara maupun antar negara,
demikian pula konflik agama. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan dan ekologi
juga menjadi tanggungjawab gereja. Gereja dipanggil ke dunia untuk menata
dunia, agar dunia ini menjadi rumah yang aman bagi semua. Pdt. Joas
Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, berpendapat bahwa tanpa
keadilan dan perdamaian, kehidupan dapat dimanipulasi untuk memperkaya
kehidupan sebagian orang dengan ongkos kematian orang lain. Juga tanpa keadilan
dan perdamaian, kehidupan dapat diselewengkan menjadi kehidupan individual atau
kelompok tertentu, sambil tetap abai pada kehidupan individu atau kelompok
lainnya.
Bagi saya, tema ini adalah penegasan kembali atas apa yang
telah lama menjadi program DGD yaitu Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan
atau yang lebih dikenal dengan JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation).
Hanya saja setelah 55 tahun DGD berdiri dan berkarya, dan setelah 9 kali
bersidang raya, maka sidang raya ke-10 ini secara khusus dan terus terang
menyatakan dalam temanya tentang keadilan dan perdamaian sebagai dua hal esensi
dalam kehidupan berekumene dalam misinya di dunia yang dilandaskan pada
pengakuan iman bahwa Allah itu pemilik kehidupan. Hanya di dalam Allah ada
kehidupan. Bila gereja-gereja anggota DGD mengakui Allah kehidupan, maka
dogma-dogma gereja-gereja harus mengacu pada pengakuan ini. Dogma gereja-gereja
ada untuk kehidupan di dalam Dia, bukan untuk mempertentangkan dan mengadili
satu dengan yang lain. Pengakuan iman bahwa Allah pemilik kehidupan bersumber
dari pengakuan utama kita ialah Allah adalah pencipta langit, bumi, laut serta
segala isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Ciptaan-Nya itu
adalah baik, dan karenanya tolok ukur bahwa sesuatu itu adalah ciptaan-Nya bila
ada kebaikan. Pengakuan iman ini harus nyata dalam proses pengambilan keputusan
dan penyusunan program kerja mulai dari aras basis bergereja yaitu
jemaat-jemaat. Sehingga pada aras sinodal, dalam perhelatan sidang-sidang
gerejawi yang tertinggi sekalipun, hanyalah sarana bersama untuk memandang
bersama (sin-hodos) secara teologis alkitabiah akan hakikat bergereja sebagai
Tubuh Kristus dalam dunia. Bila pengakuan iman kita bahwa kehidupan kita dari
Allah, maka dalam konteks dunia yang ketiadaan damai karena keadilan masih jauh
dari kenyataan bersama, tema sidang raya ini yang memohon kepada Allah untuk
memimpin kita pada keadilan dan perdamaian menjadi sangat-sangat relevan.
Pada satu pihak permohonan kepada Allah kehidupan untuk
memimpin pada keadilan dan perdamaian berkonteks dunia, tetapi juga, pada pihak
lain permohonan ini untuk kehidupan internal bergereja-gereja kita. Sehingga
pertanyaan untuk refleksi kita ialah apakah gereja-gereja pada dirinya sendiri
telah berdamai satu dengan yang lain di tengah banyak perbedaannya? Apakah
artinya pengakuan bahwa Kepala Gereja kita hanya Dia, Yesus, Tuhan, Juruselamat
kita, terimplementasi dalam penyusunan dan penetapan serta pelaksanaan program
bergereja masing-masing? Apakah gereja-gereja masih berada pada posisi utama
yaitu melayani daripada memimpin? Jangan-jangan utopia kita tentang hidup damai
masih sangat jauh karena belum ada keadilan. Jangan-jangan keadilan yang kita
praktekkan adalah adil bagi yang sejalan dengan kita, yang sepekepentingan
dengan kita. Lebih jauh lagi, jangan-jangan keadilan dan damai itu hanya untuk
melanggengkan kepentingan kepemimpinan dan kekuasaan tertentu dan menjegal
orang lain. Jangan-jangan pemahaman kita tentang damai yang dipraktekkan dalam
rapat-rapat atau sidang-sidang hanyalah pada tahap ‘tutup mulut dan tutup hati’
agar tidak gaduh, tidak kacau, tidak terpecah, jaga nama baik lembaga dan para
pengambil keputusan. Jangan-jangan gereja-gereja semakin terjebak pola kepemimpinan
‘sekuler’ yang berjenjang, yang birokratis dan sentralistik, sehingga makin
menjadi tertutup pada kemungkinan baru yang elegan dan yang berpihak pada
keadilan. Jangan-jangan kita sedang abai terhadap kehendak Dia, Kepala Gereja
kita. Kalau demikian halnya, maka kita harus kembali kepada sumber kehidupan
itu, sumber bergereja dan kepala gereja kita. Ya, kita harus bertobat.
Hari ini, gereja-gereja Protestan sedang mengingat dan
merayakan peristiwa penting dalam bergereja sepanjang abad yaitu Reformasi dari
Martin Luther. Dialah sosok Imam yang berani melakukan otokritik dengan
menempelkan 95 dalil teologis eklesiologis yang secara khusus menentang praktek
penghapusan siksa dengan menjual surat penghapus siksa, di pintu gereja istana
Wittenberg Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517. Meski untuk itu dia dikucilkan
dari komunitas berimannya. Berikut ini saya kutip tiga dalilnya. Dalil 1:
“Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus, ketika Ia mengucapkan “Bertobatlah”, dan
seterusnya, menyatakan bahwa seluruh hidup orang-orang yang percaya harus
diwarnai dengan pertobatan.” Dalil 94 : “Orang-orang Kristen harus dinasihati
untuk setia mengikuti Kristus Sang Kepala mereka melalui penderitaan, kematian,
dan neraka.” Dalil 95 : “Dan dengan demikikan yakin untuk memasuki sorga
melalui penganiyaan, bukannya melalui damai sejahtera yang palsu.” Untuk
menjawab banyaknya pertanyaan tentang hakikat bergereja kita pada masa kini,
marilah kita ingat hakikat reformasi : ecclesia reformata semper reformanda
(gereja reformasi yang selalu perlu direformasikan), dan marilah kita berdoa
“Ya Allah Kehidupan, Pimpinlah kami untuk Keadilan dan Perdamaian”. (sumber a.l
dari website WCC2013, Berita Oikoumene, edisi Juli 2013. DGD beranggotakan 345
gereja-gereja Protestan, Ortodoks, Anglikan, di 110 negara, dan bekerja sama
dengan gereja Roma Katolik)
Tomohon, 31 Oktober 2013
Penulis: Pdt.Dr.Agustien Kaunang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar