Sabtu, 24 Agustus 2013

PERAN POLITIK UMAT KRISTEN DALAM MEMBANGUN BANGSA




PERAN POLITIK UMAT KRISTEN DALAM MEMBANGUN BANGSA
Etimologi
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota).
Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
*    politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik  Aristoteles)
 *  politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  *  politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  *  politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Kompetensi Moralitas
Kurang dari setahun lagi pemilu 2014 akan digelar. Melalui pesta demokrasi rakyat ini nantinya terpilih seorang presiden dan wakil presiden, ratusan wakil rakyar di (DPR), dan ribuan wakil rakyat di daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Mereka hanya sedikit dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia yang terpilih untuk menduduki jabatan politik strategis.
Karena itu, mereka mestinya bukan sosok yang biasa-biasa saja, melainkan manusia-manusia unggul yang terpilih karena kompetensi, kapabilitas, akseptibilitas, integritas, dan juga moralitas mereka. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang pilihan, karena di dalam diri mereka tertanam sikap dan hasrat kuat untuk “merendahkan dirinya” dan membaktikan seluruh perhatiannya pada kepentingan bangsa dan Negara.
Membangun Negara, memajukan kepentingan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah komitmen utama mereka. Mereka menjauhkan diri dari godaan-godaan untuk kepentingan sempit: diri, partai, kelompok, atau golongannya sendiri. Tak terbersit dalam diri mereka hasrat menduduki jabatan politik hanya demi kursi kekuasaan atau uang.
Mereka yang duduk dalam jabatan politik haruslah menjadi contoh untuk apa yang dengan tepat dikatakan Presiden AS ke-35 John F. Kennedy, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu sudah berikan bagi negaramu.”
Jelaslah, sebagai suatu panggilan hidup, jabatan politik mesti menampilkan figur terbaik dari anak-anak bangsa ini. Mereka menjadi contoh, layaknya tokoh-tokoh agama yang menjalani fungsi kenabian, meski mereka memiliki ladang pengabdian yang berbeda.

Partai sebagai Benteng
Undangan partai-partai politik- melalui iklan di berbagai media yang menawarkan jabatan politik kepada siapa saja yang berkompeten, hendaknya tidak disamakan dengan iklan lowongan pekerjaan yang lazim. Iklan semacam itu haruslah dimaknai sebagai undangan yang mulia dari partai-partai politik kepada mereka yang terpanggil untuk menduduki jabatan politik. Tentu, dengan niat tulus, yakni untuk mengabdi bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Selama ini, politik memang tidak jarang diidentikkan dengan ladangnya para pecundang. Politik itu kotor, karena para pelakunya tak pernah jauh dari sikap munafik, penuh intrik, saling hujat, dan saling menjatuhkan. Pemahaman seperti ini memang tidak sepenuhnya salah karena sehari-hari dapat kita saksikan perilaku para pemimpin busuk, politikus tak bermoral, dan elit-elit yang bernafsu mengangkangi jabatan publik yang diembannya.
Lihat saja, masih banyak Negara yang terus dirundung konflik serta kemiskinan, semata karena egoisme para pemimpinnya. Para pemimpin ini menjalani praktek politik tak bermoral, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (Machiavelli), dan kerap menempatkan manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homoni lupus, (Thomas Hobbes).
Di manakah akar permasalahannya? Akar persoalannya karena memang sudah terjadi “salah pilih”. Kita gagal memilih manusia unggulan, sebaliknya, dengan gampang kita menjatuhkan pilihan pada kaum medioker untuk menduduki jabatan publik. Akibatnya, banyak persoalan bangsa yang tak pernah selesai.
Karena nasib rakyat dan nasib bangsa menjadi taruhannya, maka penyeleksian yang ketat untuk mereka yang ingin menduduki jabatan tersebut adalah sebuah keharusan. Peran kunci untuk ini ada ditangan partai politik. Partai politik dituntut tanggung jawabnya untuk menghadirkan pemimpin yang memiliki kompetensi dan berdedikasi tinggi.
Di sini partai politik harus menjadi benteng terdepan dalam merekrut calon unggulan untuk menduduki jabatan politik, sekaligus benteng pertama yang menyekat masuknya para politikus busuk yang berambisi menduduki jabatan publik. Partai politik sudah selayaknya menanggalkan citra buruknya sebagi mesin uang pada setiap penyelenggaraan pemilihan Presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Seperti kegiatan-kegiatan lainnya, aktivitas politik tentu saja membutuhkan uang. Namun, membayar sejumlah dana untuk suatu jabatan publik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi sang calon, itu justru merendahkan martabat jabatan politik yang mulia itu.
Sebagaima Kemerdekaan bangsa ini yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk umat Kristen dan dan umat beragama lainnya, maka perjuangan membangun masa depan bangsa, adalah merupakan tanggungjawab seluruh warga Negara didalamnya umat Kristen di Indonesia. Ds. W.J. Rumambi (Sekjen I Dewan Gereja-gereja di Indonesia)   pada Sidang Konstituante tahun 1957. Dalam pidatonya mengatakan:

UMAT KRISTEN INDONESIA BUKAN WARGA NEGARA KELAS 2.
“Bagi kami negara ini adalah karunia Tuhan kepada tanah dan Bangsa Indonesia seluruhnya, yang wajib dipelihara. Oleh karena ini adalah karunia Tuhan, maka sudah sepatutnya kami bertanggung jawab penuh atasnya, baik terhadap sesama manusia maupun dan terlebih lagi terhadap Tuhan …
Tanggung jawab kami itu pertama-tama terhadap Tuhan kami dan selanjutnya terhadap sesama manusia. Kami pula yakin bahwa umat Kristen di Indonesia bukanlah suatu golongan yang tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia, melainkan bahwa umat Kristen adalah sebahagian yang mutlak daripada bangsa dan masyarakat Indonesia. Yang telah turut memperjuangkan dan mempertahankan tanah dan bangsa Indonesia, yang turut menderita bila bangsa Indonesia menderita, dan turut bersukaria jika Bangsa Indonesia bersukaria.
Tugas kami umat Kristen di Indonesia dalam lapangan kenegaraan ialah turut mengusahakan kesejahteraan, perdamaian, keadilan dan keterlibatan untuk seluruh rakyat Indonesia, baik dengan kata maupun dengan perbuatan, berdasarkan pada rencana keselamatan Tuhan kami yang nyata dalam Kitab Suci kami, Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia, demikian juga Juruselamat Indonesia! Ini keyakinan kami.”
- Pidato Ds. W.J. Rumambi (Sekjen I Dewan Gereja-gereja di Indonesia)
  pada Sidang Konstituante tahun 1957 -
 
MALFUNGSI POLITIK
Mengutip sebuah tulisan Pdt. DR. J N Gara, dimana menurut beliau bahwa dalam banyak kenyataan kita melihat terjadinya malfungsi politik.
Baik secara teoritis, apalagi secara teologis, politik sesungguhnya adalah baik dan berguna bagi kesejahteraan banyak orang. Tetapi dengan sedih kita melihat kenyataan di negara kita, politik hanya dijadikan alat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini ditandai oleh adanya praktek-praktek “saling menjatuhkan”, korupsi serta cara-cara kekerasan meskipun baru pada tahap kekerasan verbal. Begitu menonjolnya kepentingan pribadi, sehingga politik uang dianggap sesuatu yang sudah wajar. Rakyat dibius dengan sejumlah uang. Padahal kewajiban para politisi maupun lembaga politik adalah untuk memberikan pendidikan politik . Ini disebabkan karena politik dianggap tidak ada hubungannya dengan amanat atau misi dari Allah. Politik betul-betul disekulerkan dan dipisahkan dari amanat TUHAN yang sakral itu. Maka tidaklah mengherankan kalau politik dianggap tidak ada ada hubungannya dengan persoalan Kerajaan Allah. Bahwa dalam praktek orang lebih mengejar kepentingan pribadi dan golongan/partai, menunjukkan bahwa politik itu adalah untuk membangun “kerajaan pribadi atau golongan”. Itulah sebabnya di politik diselimuti dengan praktek-praktek kotor. Seakan sudah menjadi label bahwa politik itu kotor.
Pada sisi lain Gereja sendiri dengan sadar memisahkan diri dari politik. Artinya Gereja tidak sadar politik . Padahal khotbah-khotbah Gereja tentang Kerajaan Allah pada hakekatnya adalah kampanye politik Kerajaan Allah. Dengan begitu, Gereja menjadikan dunia politik adalah dunia yang tak terjangkau oleh Kerajaan Allah. Akibat lebih jauh adalah sistem pelayanan dan pemberdayaan Gereja tidak menyentuh bidang politik. Sebaliknya, Gereja lebih mudah membuat larangan daripada membuka lapangan lewat pemberdayaan bagi warganya yang berkecimpung di bidang politik.
Pada tataran praktis, penyebab malfungsi politik adalah terpikat godaan kuasa dan uang, kokohnya sistem politik yang oligarkis. Kalau ada yang berupaya menghubungkannya dengan keyakinan agama, sering terjadi salah tafsir terhadap iman dan misi di bidang politik seperti: mesianisma, ayat selektif, kepercayaan selektif, episodisme, kedangkalan dan kebanggaan semu .
Terpikatnya politisi oleh godaan kuasa, membuat kekuasaan yang sebenarnya adalah alat untuk menunaikan misi yang dipercayakan TUHAN di bidang politik, berubah menjadi tujuan. Kuasa yang sesungguhnya adalah wahana untuk melayani, tapi menjadi kesempatan untuk dilayani. Godaan akan kekuasaan itu berhubungan dengan uang. Untuk merebut kekuasaan, orang menggunakan uang (politik uang). Karena itu terjadi pengambilan keputusan demi uang. Sebab dengan uang maka kekuasaan dapat dipertahankan dan dilanggengkan. Ada pameo yang mengibaratkan kekuasaan itu bagaikan pedang, sedangkan uang adalah batu asah. Pedang kekuasaan perlu diasah supaya tetap tajam dan langgeng. Jadi tujuan politik dikerdilkan demi kekuasaan dan uang.
Kalau ada orang atau partai yang mengatas namakan misi agama dalam dunia politik, sering terjebak pada fenomena “messianisme”, yaitu suatu paham yang menganggap eskaton atau masa depan itu dapat diwujudkan oleh manusia atau sistem tertentu. Sering juga terjadi penggunaan ayat selektif untuk benarkan pendapat atau perasaan sendiri. Ayat itu dilepaskan dari konteks politik Kerajaan Allah. Padahal misi orang Kristen, termasuk yang terjun di bidang politik, bukan untuk mendirikan Kerajaaan Allah, tetapi mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah yang substansinya sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Banyak kali, para politisi terjebak pada kepercayaan gampangan. Kalau ide atau gagasan itu berasal dari pihak yang disenangi, maka itulah yang dipandang benar. Kalau dari pihak yang tidak disenangi, maka itu pasti salah dan harus disalahkan. Padahal seharusnya semua pandangan perlu diuji secara objektif dalam terang politik Kerajaan Allah.
Fenomena episodisme terlihat dalam kecenderungan untuk fokus pada hal-hal yang kontroversial, simplistik, emosional. Sedangkan isu-isu vital tidak diberi perhatian karena kurang atau “tidak sexy”. Selain itu juga kita menyaksikan gejala kedangkalan focus dalam diskusi-diskusi. Lihatlah fenomena tiadanya Garis Besar Haluan Negara yang bersifat jangka panjang. Yang ada hanya jangka menengah (tahunan) dan jangka panjang. Politisi tidak teloran pada hal-hal yang kompelks dan jangka panjang. Yang dikejar adalah kepentingan jangka pendek sesuai periode jabatan atau pemerintahan. Padahal, kehidupan politik itu menyangkut kepentingan jangka panjang bagi suatu bangsa.

PEMILU adalah bagian dari  Perjuangan Membangun Bangsa
Peran orang Kristen dalam masyarakat majemuk amat ditentukan juga oleh bagaimana kita melibatkan diri dalam pemilu. Dengan keikutsertaan kita dalam pemilu itu berarti kita telah turut menentukan masa depan bangsa.

Siapa yang Dipilih?
Bagaimana kita akan memilih? Pertama adalah dianjurkan agar kita menggunakan hak pilih, dan kedua, agar menggunakannya dengan bertanggungjawab.
Hendaknya kita menentukan pilihan kita dengan kritis dan rasional dan jangan dengan alasan yang sentimental-premordial. Jangan sampai suara kita terbuang dengan sia-sia. Namun bila tidak ada pilihan, secara pribadi kita juga dapat tidak memilih. Hanya saja jangan sampai ada yang menghalangi atau menghasut agar seseorang tidak menggunakan hak pilihnya. Bersikap golput tidak akan memecahkan masalah, bahkan akan mengurangi dorongan untuk terus membangun sistem yang demokratis dan handal.
Walaupun kemungkinan untuk merubah pasal 29 UUD’45 misalya telah amat kecil, namun akar masalahnya belum selesai. Masih akan selalu ada usaha untuk membelokkan arah pertumbuhan bangsa ini ke arah yang tidak diinginkan. Usaha itu tidak hanya akan terjadi di tingkat UUD dan di tingkat Pusat, tetapi terutama akan terjadi di daerah-daerah, seperti yang kita saksikan sekarang ini. Telah terjadi usaha-usaha untuk menerapkan hukum agama sebagai hukum negara dengan cara memindahkan begitu saja ketentuan partikular itu menjadi ketentuan publik.
Pemilu yang terjadi teratur dalam siklus 5 tahunan itu akan menghadirkan konstelasi politik yang pada gilirannya akan berfungsi mengelola berbagai permasalahan bangsa. Karena secara relatif jumlah orang Kristen lebih sedikit di tengah 240 juta bangsa, kehadiran kita akan dapat lebih bermakna dan optimal apabila kita dapat menghadirkannya dengan cerdas.
Bercermin pada kasus Korea Selatan, mungkin kita perlu mempertanyakan apakah perlu ada partai Kristen di Indonesia. Di Korea Selatan tidak ada partai Kristen, tetapi orang Kristen dapat berperan besar, bahu membahu dengan sesama warga membangun negara itu dan kinerja mereka mengagumkan.
Kita telah mempunyai sistem politik yang menjamin kepastian siklikal 5 tahunan, yang merupakan prasyarat bagi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dan penegakan hukum. Kita akan mengejar kembali ketertinggalan kita. Orang Kristen akan lebih berkesempatan untuk bekerja di tengah masyarakat, memperkuatnya menjadi masyarakat maju yang menjadi penopang yang kuat bagi negara yang demokratis dan bersatu.
Oleh karena itu perlu untuk direnungkan apakah tidak lebih baik kita memperkuat barisan kebangsaan Indonesia daripada membentuk kekuatan yang selain sulit dipersatukan, justru dapat menambah alasan bagi kehadiran partai sektarian pada pihak lain.

JABATAN POLITIK SEBAGAI PANGGILAN
Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.
Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuannya.
Mengutip TB Simatupang dalam buku Dari Revolusi ke Pembangunan (1987), dunia politik telah berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya tidak berbeda dengan panggilan para pahlawan yang gugur di medan peperangan. Keduanya sama-sama mengandung arti kesediaan untuk berkorban demi bangsa dan Negara. Keduanya sama-sama mewujudkan suatu panggilan hidup, tentu dengan cara yang berbeda.
Tokoh Politik Kristen diantaranya:    Johannes Leimena, W.J. Rumambi, Ruyandi Hutasoit.

Penutup...
Gereja yang kuat, bukan partai politik, merupakan dasar yang kokoh bagi peran orang Kristen di Indonesia. Gereja harus dapat memberikan bagi anak-anak Tuhan dasar-dasar pelayanan dalam masyarakan majemuk.
Pengajaran yang diberikan haruslah memampukan orang Kristen untuk memahami relevansi iman Kristen dengan kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebuah teologi kebersamaan perlu dikembangkan, sehingga orang Kristen dibekali dengan komitmen yang kokoh untuk membangun kesetiakawanan sosial dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Fundamental demikian akan memampukan orang Kristen untuk mengembangkan dan memperkaya gagasan-gagasan lintas agama di segala bidang bersama-sama dengan warga masyarakat lainnya.
Pada masa sekarang marilah kita terus bekerja mewujudkan nilai-nilai demokrasi, mendukung implementasi sistem politik demokratis yang telah kita punyai sekarang. Bekerja mewujudkan sistem politik yang demokratis akan sangat membantu mempersiapkan bangsa Indonesia mengarungi abad 21 dan ke depan.
Kita turut membangun solidaritas sosial yang inklusif, membangun kebersamaan di tengah-tengah perbedaan. Jangan kita menjadi faktor eksklusif yang menunjukkan ciri sektarianisme dalam pergaulan kemasyarakatan. Kita tidak boleh menjadi tamu di tengah bangsa kita.
Kita lanjutkan kerja membangun ekonomi masyarakat yang mengutamakan profesionalisme sebagai sumbangan nyata untuk membangun kebersamaan. Demikian pula usaha-usaha memajukan pendidikan di setiap strata.
Orang Kristen dapat berkiprah secara positif-konstruktif membangun Indonesia baru di setiap tingkatan, baik pada tingkat pengembangan gagasan, pada pembangunan sistem, pembangunan masyarakat dan pada lapangan kehidupan sehari-hari.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus bgt ini!smg yg membaca bisa melaksanakannya.amin.Gbu