PERAN POLITIK UMAT
KRISTEN DALAM MEMBANGUN BANGSA
Etimologi
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa
Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά
(politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης
(polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota).
Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan
dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang
berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang
menekuni hal politik.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu
politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang
berbeda, yaitu antara lain:
* politik adalah
usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori
klasik Aristoteles)
* politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara
* politik merupakan kegiatan yang diarahkan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
* politik adalah segala sesuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Kompetensi Moralitas
Kurang dari setahun lagi pemilu
2014 akan digelar. Melalui pesta demokrasi rakyat ini nantinya terpilih seorang
presiden dan wakil presiden, ratusan wakil rakyar di (DPR), dan ribuan wakil
rakyat di daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Mereka hanya sedikit dari
sekitar 240 juta penduduk Indonesia yang terpilih untuk menduduki jabatan
politik strategis.
Karena itu, mereka mestinya bukan
sosok yang biasa-biasa saja, melainkan manusia-manusia unggul yang terpilih
karena kompetensi, kapabilitas, akseptibilitas, integritas, dan juga moralitas
mereka. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang pilihan, karena di dalam diri
mereka tertanam sikap dan hasrat kuat untuk “merendahkan dirinya” dan
membaktikan seluruh perhatiannya pada kepentingan bangsa dan Negara.
Membangun Negara, memajukan
kepentingan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah komitmen utama
mereka. Mereka menjauhkan diri dari godaan-godaan untuk kepentingan sempit:
diri, partai, kelompok, atau golongannya sendiri. Tak terbersit dalam diri
mereka hasrat menduduki jabatan politik hanya demi kursi kekuasaan atau uang.
Mereka yang duduk dalam jabatan
politik haruslah menjadi contoh untuk apa yang dengan tepat dikatakan Presiden
AS ke-35 John F. Kennedy, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu,
tapi tanyakan apa yang kamu sudah berikan bagi negaramu.”
Jelaslah, sebagai suatu panggilan
hidup, jabatan politik mesti menampilkan figur terbaik dari anak-anak bangsa
ini. Mereka menjadi contoh, layaknya tokoh-tokoh agama yang menjalani fungsi
kenabian, meski mereka memiliki ladang pengabdian yang berbeda.
Partai sebagai Benteng
Undangan partai-partai politik-
melalui iklan di berbagai media yang menawarkan jabatan politik kepada siapa
saja yang berkompeten, hendaknya tidak disamakan dengan iklan lowongan
pekerjaan yang lazim. Iklan semacam itu haruslah dimaknai sebagai undangan yang
mulia dari partai-partai politik kepada mereka yang terpanggil untuk menduduki
jabatan politik. Tentu, dengan niat tulus, yakni untuk mengabdi bagi
masyarakat, bangsa dan Negara.
Selama ini, politik memang tidak
jarang diidentikkan dengan ladangnya para pecundang. Politik itu kotor, karena
para pelakunya tak pernah jauh dari sikap munafik, penuh intrik, saling hujat,
dan saling menjatuhkan. Pemahaman seperti ini memang tidak sepenuhnya salah
karena sehari-hari dapat kita saksikan perilaku para pemimpin busuk, politikus
tak bermoral, dan elit-elit yang bernafsu mengangkangi jabatan publik yang
diembannya.
Lihat saja, masih banyak Negara
yang terus dirundung konflik serta kemiskinan, semata karena egoisme para
pemimpinnya. Para pemimpin ini menjalani praktek politik tak bermoral,
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (Machiavelli), dan kerap
menempatkan manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homoni lupus, (Thomas
Hobbes).
Di manakah akar permasalahannya?
Akar persoalannya karena memang sudah terjadi “salah pilih”. Kita gagal memilih
manusia unggulan, sebaliknya, dengan gampang kita menjatuhkan pilihan pada kaum
medioker untuk menduduki jabatan publik. Akibatnya, banyak persoalan bangsa
yang tak pernah selesai.
Karena nasib rakyat dan nasib
bangsa menjadi taruhannya, maka penyeleksian yang ketat untuk mereka yang ingin
menduduki jabatan tersebut adalah sebuah keharusan. Peran kunci untuk ini ada
ditangan partai politik. Partai politik dituntut tanggung jawabnya untuk
menghadirkan pemimpin yang memiliki kompetensi dan berdedikasi tinggi.
Di sini partai politik harus
menjadi benteng terdepan dalam merekrut calon unggulan untuk menduduki jabatan
politik, sekaligus benteng pertama yang menyekat masuknya para politikus busuk
yang berambisi menduduki jabatan publik. Partai politik sudah selayaknya
menanggalkan citra buruknya sebagi mesin uang pada setiap penyelenggaraan
pemilihan Presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Seperti kegiatan-kegiatan
lainnya, aktivitas politik tentu saja membutuhkan uang. Namun, membayar
sejumlah dana untuk suatu jabatan publik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi
sang calon, itu justru merendahkan martabat jabatan politik yang mulia itu.
Sebagaima Kemerdekaan bangsa ini
yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah merupakan perjuangan
seluruh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk umat Kristen dan dan umat
beragama lainnya, maka perjuangan membangun masa depan bangsa, adalah merupakan
tanggungjawab seluruh warga Negara didalamnya umat Kristen di Indonesia. Ds.
W.J. Rumambi (Sekjen I Dewan Gereja-gereja di Indonesia) pada Sidang Konstituante tahun 1957. Dalam
pidatonya mengatakan:
UMAT KRISTEN INDONESIA BUKAN WARGA NEGARA KELAS 2.
“Bagi kami negara ini adalah karunia Tuhan kepada tanah dan Bangsa
Indonesia seluruhnya, yang wajib dipelihara. Oleh karena ini adalah karunia
Tuhan, maka sudah sepatutnya kami bertanggung jawab penuh atasnya, baik
terhadap sesama manusia maupun dan terlebih lagi terhadap Tuhan …
Tanggung jawab kami itu pertama-tama terhadap Tuhan kami dan
selanjutnya terhadap sesama manusia. Kami pula yakin bahwa umat Kristen di
Indonesia bukanlah suatu golongan yang tersendiri di kalangan masyarakat
Indonesia, melainkan bahwa umat Kristen adalah sebahagian yang mutlak daripada
bangsa dan masyarakat Indonesia. Yang telah turut memperjuangkan dan
mempertahankan tanah dan bangsa Indonesia, yang turut menderita bila bangsa
Indonesia menderita, dan turut bersukaria jika Bangsa Indonesia bersukaria.
Tugas kami umat Kristen di Indonesia dalam lapangan kenegaraan ialah
turut mengusahakan kesejahteraan, perdamaian, keadilan dan keterlibatan untuk
seluruh rakyat Indonesia, baik dengan kata maupun dengan perbuatan, berdasarkan
pada rencana keselamatan Tuhan kami yang nyata dalam Kitab Suci kami, Yesus
Kristus adalah Juruselamat dunia, demikian juga Juruselamat Indonesia! Ini
keyakinan kami.”
- Pidato Ds. W.J. Rumambi (Sekjen I Dewan Gereja-gereja di Indonesia)
pada Sidang Konstituante tahun
1957 -
MALFUNGSI POLITIK
Mengutip sebuah tulisan Pdt. DR.
J N Gara, dimana menurut beliau bahwa dalam banyak kenyataan kita melihat
terjadinya malfungsi politik.
Baik secara teoritis, apalagi
secara teologis, politik sesungguhnya adalah baik dan berguna bagi
kesejahteraan banyak orang. Tetapi dengan sedih kita melihat kenyataan di
negara kita, politik hanya dijadikan alat untuk kepentingan pribadi dan
golongan. Hal ini ditandai oleh adanya praktek-praktek “saling menjatuhkan”,
korupsi serta cara-cara kekerasan meskipun baru pada tahap kekerasan verbal.
Begitu menonjolnya kepentingan pribadi, sehingga politik uang dianggap sesuatu
yang sudah wajar. Rakyat dibius dengan sejumlah uang. Padahal kewajiban para
politisi maupun lembaga politik adalah untuk memberikan pendidikan politik .
Ini disebabkan karena politik dianggap tidak ada hubungannya dengan amanat atau
misi dari Allah. Politik betul-betul disekulerkan dan dipisahkan dari amanat
TUHAN yang sakral itu. Maka tidaklah mengherankan kalau politik dianggap tidak
ada ada hubungannya dengan persoalan Kerajaan Allah. Bahwa dalam praktek orang
lebih mengejar kepentingan pribadi dan golongan/partai, menunjukkan bahwa
politik itu adalah untuk membangun “kerajaan pribadi atau golongan”. Itulah
sebabnya di politik diselimuti dengan praktek-praktek kotor. Seakan sudah
menjadi label bahwa politik itu kotor.
Pada sisi lain Gereja sendiri
dengan sadar memisahkan diri dari politik. Artinya Gereja tidak sadar politik .
Padahal khotbah-khotbah Gereja tentang Kerajaan Allah pada hakekatnya adalah
kampanye politik Kerajaan Allah. Dengan begitu, Gereja menjadikan dunia politik
adalah dunia yang tak terjangkau oleh Kerajaan Allah. Akibat lebih jauh adalah
sistem pelayanan dan pemberdayaan Gereja tidak menyentuh bidang politik.
Sebaliknya, Gereja lebih mudah membuat larangan daripada membuka lapangan lewat
pemberdayaan bagi warganya yang berkecimpung di bidang politik.
Pada tataran praktis, penyebab
malfungsi politik adalah terpikat godaan kuasa dan uang, kokohnya sistem politik
yang oligarkis. Kalau ada yang berupaya menghubungkannya dengan keyakinan
agama, sering terjadi salah tafsir terhadap iman dan misi di bidang politik
seperti: mesianisma, ayat selektif, kepercayaan selektif, episodisme,
kedangkalan dan kebanggaan semu .
Terpikatnya politisi oleh godaan
kuasa, membuat kekuasaan yang sebenarnya adalah alat untuk menunaikan misi yang
dipercayakan TUHAN di bidang politik, berubah menjadi tujuan. Kuasa yang
sesungguhnya adalah wahana untuk melayani, tapi menjadi kesempatan untuk
dilayani. Godaan akan kekuasaan itu berhubungan dengan uang. Untuk merebut
kekuasaan, orang menggunakan uang (politik uang). Karena itu terjadi
pengambilan keputusan demi uang. Sebab dengan uang maka kekuasaan dapat
dipertahankan dan dilanggengkan. Ada pameo yang mengibaratkan kekuasaan itu
bagaikan pedang, sedangkan uang adalah batu asah. Pedang kekuasaan perlu diasah
supaya tetap tajam dan langgeng. Jadi tujuan politik dikerdilkan demi kekuasaan
dan uang.
Kalau ada orang atau partai yang
mengatas namakan misi agama dalam dunia politik, sering terjebak pada fenomena
“messianisme”, yaitu suatu paham yang menganggap eskaton atau masa depan itu
dapat diwujudkan oleh manusia atau sistem tertentu. Sering juga terjadi
penggunaan ayat selektif untuk benarkan pendapat atau perasaan sendiri. Ayat
itu dilepaskan dari konteks politik Kerajaan Allah. Padahal misi orang Kristen,
termasuk yang terjun di bidang politik, bukan untuk mendirikan Kerajaaan Allah,
tetapi mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah yang substansinya sudah dibahas
pada bagian sebelumnya.
Banyak kali, para politisi
terjebak pada kepercayaan gampangan. Kalau ide atau gagasan itu berasal dari
pihak yang disenangi, maka itulah yang dipandang benar. Kalau dari pihak yang
tidak disenangi, maka itu pasti salah dan harus disalahkan. Padahal seharusnya
semua pandangan perlu diuji secara objektif dalam terang politik Kerajaan
Allah.
Fenomena episodisme terlihat
dalam kecenderungan untuk fokus pada hal-hal yang kontroversial, simplistik,
emosional. Sedangkan isu-isu vital tidak diberi perhatian karena kurang atau
“tidak sexy”. Selain itu juga kita menyaksikan gejala kedangkalan focus dalam
diskusi-diskusi. Lihatlah fenomena tiadanya Garis Besar Haluan Negara yang
bersifat jangka panjang. Yang ada hanya jangka menengah (tahunan) dan jangka
panjang. Politisi tidak teloran pada hal-hal yang kompelks dan jangka panjang.
Yang dikejar adalah kepentingan jangka pendek sesuai periode jabatan atau
pemerintahan. Padahal, kehidupan politik itu menyangkut kepentingan jangka
panjang bagi suatu bangsa.
PEMILU adalah bagian dari
Perjuangan Membangun Bangsa
Peran orang Kristen dalam
masyarakat majemuk amat ditentukan juga oleh bagaimana kita melibatkan diri
dalam pemilu. Dengan keikutsertaan kita dalam pemilu itu berarti kita telah
turut menentukan masa depan bangsa.
Siapa yang Dipilih?
Bagaimana kita akan memilih?
Pertama adalah dianjurkan agar kita menggunakan hak pilih, dan kedua, agar
menggunakannya dengan bertanggungjawab.
Hendaknya kita menentukan pilihan
kita dengan kritis dan rasional dan jangan dengan alasan yang
sentimental-premordial. Jangan sampai suara kita terbuang dengan sia-sia. Namun
bila tidak ada pilihan, secara pribadi kita juga dapat tidak memilih. Hanya
saja jangan sampai ada yang menghalangi atau menghasut agar seseorang tidak
menggunakan hak pilihnya. Bersikap golput tidak akan memecahkan masalah, bahkan
akan mengurangi dorongan untuk terus membangun sistem yang demokratis dan
handal.
Walaupun kemungkinan untuk
merubah pasal 29 UUD’45 misalya telah amat kecil, namun akar masalahnya belum
selesai. Masih akan selalu ada usaha untuk membelokkan arah pertumbuhan bangsa
ini ke arah yang tidak diinginkan. Usaha itu tidak hanya akan terjadi di
tingkat UUD dan di tingkat Pusat, tetapi terutama akan terjadi di
daerah-daerah, seperti yang kita saksikan sekarang ini. Telah terjadi
usaha-usaha untuk menerapkan hukum agama sebagai hukum negara dengan cara
memindahkan begitu saja ketentuan partikular itu menjadi ketentuan publik.
Pemilu yang terjadi teratur dalam
siklus 5 tahunan itu akan menghadirkan konstelasi politik yang pada gilirannya
akan berfungsi mengelola berbagai permasalahan bangsa. Karena secara relatif
jumlah orang Kristen lebih sedikit di tengah 240 juta bangsa, kehadiran kita
akan dapat lebih bermakna dan optimal apabila kita dapat menghadirkannya dengan
cerdas.
Bercermin pada kasus Korea
Selatan, mungkin kita perlu mempertanyakan apakah perlu ada partai Kristen di
Indonesia. Di Korea Selatan tidak ada partai Kristen, tetapi orang Kristen
dapat berperan besar, bahu membahu dengan sesama warga membangun negara itu dan
kinerja mereka mengagumkan.
Kita telah mempunyai sistem
politik yang menjamin kepastian siklikal 5 tahunan, yang merupakan prasyarat
bagi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dan penegakan hukum. Kita akan mengejar
kembali ketertinggalan kita. Orang Kristen akan lebih berkesempatan untuk
bekerja di tengah masyarakat, memperkuatnya menjadi masyarakat maju yang
menjadi penopang yang kuat bagi negara yang demokratis dan bersatu.
Oleh karena itu perlu untuk direnungkan
apakah tidak lebih baik kita memperkuat barisan kebangsaan Indonesia daripada
membentuk kekuatan yang selain sulit dipersatukan, justru dapat menambah alasan
bagi kehadiran partai sektarian pada pihak lain.
JABATAN POLITIK SEBAGAI PANGGILAN
Jabatan politik sama mulianya
dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan
menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas
dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.
Jabatan politik sudah selayaknya
dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami
dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar
menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum
menjadi tujuannya.
Mengutip TB Simatupang dalam buku
Dari Revolusi ke Pembangunan (1987), dunia politik telah berperan besar dalam
perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas
memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan
kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta
menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat
dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, mengabdi kepada
masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya
tidak berbeda dengan panggilan para pahlawan yang gugur di medan peperangan.
Keduanya sama-sama mengandung arti kesediaan untuk berkorban demi bangsa dan
Negara. Keduanya sama-sama mewujudkan suatu panggilan hidup, tentu dengan cara
yang berbeda.
Tokoh Politik Kristen diantaranya: Johannes Leimena, W.J. Rumambi, Ruyandi
Hutasoit.
Penutup...
Gereja yang kuat, bukan partai
politik, merupakan dasar yang kokoh bagi peran orang Kristen di Indonesia.
Gereja harus dapat memberikan bagi anak-anak Tuhan dasar-dasar pelayanan dalam
masyarakan majemuk.
Pengajaran yang diberikan
haruslah memampukan orang Kristen untuk memahami relevansi iman Kristen dengan
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebuah teologi
kebersamaan perlu dikembangkan, sehingga orang Kristen dibekali dengan komitmen
yang kokoh untuk membangun kesetiakawanan sosial dan menegakkan keadilan di
tengah masyarakat. Fundamental demikian akan memampukan orang Kristen untuk
mengembangkan dan memperkaya gagasan-gagasan lintas agama di segala bidang
bersama-sama dengan warga masyarakat lainnya.
Pada masa sekarang marilah kita
terus bekerja mewujudkan nilai-nilai demokrasi, mendukung implementasi sistem
politik demokratis yang telah kita punyai sekarang. Bekerja mewujudkan sistem
politik yang demokratis akan sangat membantu mempersiapkan bangsa Indonesia
mengarungi abad 21 dan ke depan.
Kita turut membangun solidaritas
sosial yang inklusif, membangun kebersamaan di tengah-tengah perbedaan. Jangan
kita menjadi faktor eksklusif yang menunjukkan ciri sektarianisme dalam
pergaulan kemasyarakatan. Kita tidak boleh menjadi tamu di tengah bangsa kita.
Kita lanjutkan kerja membangun
ekonomi masyarakat yang mengutamakan profesionalisme sebagai sumbangan nyata
untuk membangun kebersamaan. Demikian pula usaha-usaha memajukan pendidikan di
setiap strata.
Orang Kristen dapat berkiprah
secara positif-konstruktif membangun Indonesia baru di setiap tingkatan, baik
pada tingkat pengembangan gagasan, pada pembangunan sistem, pembangunan
masyarakat dan pada lapangan kehidupan sehari-hari.
1 komentar:
bagus bgt ini!smg yg membaca bisa melaksanakannya.amin.Gbu
Posting Komentar