Dunia peradilan tidak pernah sepi dari berbagai kasus yang terjadi dalam kehidupan manusia. Contoh kasus seperti misalnya dari pencurian sandal jepit, pisang dan kakao, sampai pada tindak korupsi yang terbilang luar luar biasa, masalah tanah, masalah rumah tangga, perkelahian, pembunuhan dan sebagainya.
Mungkinkah kenyataan-kenyataan seperti ini, menjadi pertanda bahwa semakin banyak orang yang merindukan kebenaran dan keadilan. Tapi juga disisi lain semakin sulitnya manusia dalam hubungan dengan sesama dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi?
Memang di sadari bahwa manusia, dalam hakikatnya sebagai makhluk social yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, tidak pernah sepi dari berbagai permasalahan, sebab itu lahirlah lembaga lembaga dalam kehidupan masyarakat sebagai sarana dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam kehidupan masyarakat, seperti pengadilan. Lembaga bantuan hukum, dsb.
Di Negara kita yang di kenal sebagai Negara hukum, setiap persoalan yang tidak dapat di selesaikan dengan jalan musyawarah atau mediasi selalu diupayakan penyelesaian secara hukum melalui proses peradilan di pengadilan, bahkan tidak hanya masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat yang mencari penyelesaisan melalui pengadilan, akan tetapi, persoalan persoalan yang terjadi dalam komunitas umat yang di pandang mampu menyelesaikan setiap persoalan internal, misalnya lembaga keagamaan termasuk di dalamnya gereja, pada akhirnya harus menempuh jalur hukum, dalam menyelesaikan persoalan atau permasalahan yang dihadapi.
Ironis memang bila persoalan internal dalam lembaga keagamaan penyelesaiannya harus melalui pengadilan duniawi, memang alasannya bisa dikatakan karena kasus atau persoalannya bersentuhan dengan hukum atau perundang-undangan yang berlaku sehingga penyelesaiannya harus melalui jalur hukum pula.
Saudara-saudara, ada banyak cara untuk Tuhan membentuk umat-Nya. Selain melalui penderitaan dan kesulitan yang dihadapi, umat Tuhan juga dibentuk melalui interaksi-interaksi yang ada dengan sesamanya. Namun sayangnya tidak semua interaksi-interaksi ini berjalan mulus, terkadang muncul perselisihan akibat interaksi-interaksi yang ada. Demikian juga yang terjadi dengan Jemaat Tuhan di Korintus. Tak jarang mereka juga berselisih oleh karena sesuatu hal. Dan ketika terjadi perselisihan, mereka tidak lagi menyelesaikannya bersama-sama di dalam jemaat melainkan menyerahkannya kepada orang-orang tidak percaya. Inilah sesungguhnya persoalan yang terjadi dalam jemaat Tuhan yang ada di Korintus dalam bagian perikop ini.
Saudara-saudara, Paulus menghadapi masalah yang secara khusus mempengaruhi jemaat Korintus dari golongan orang-orang Yunani pada saat itu, dimana mereka adalah rakyat yang secara karakteristik bersifat hukum. Hal biasa pada saat itu bila melihat orang Yunani mahir dalam bidang hukum. Hal ini sangat wajar, karena mereka adalah orang-orang yang gemar terhadap ilmu hukum. Mereka sering menghabiskan waktu mereka di pengadilan baik untuk memutuskan maupun hanya sekedar mendengarkan kasus-kasus hukum, bahkan mereka rela untuk mengeluarkan uang agar dapat masuk ke dalam ruang pengadilan. Golongan orang Yunani inilah yang telah membawa kecendrungan untuk selalu menyelesaikan setiap perselisihan melalui proses hukum ke dalam gereja. Di ayat 1dikatakan bahwa mereka berani mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar.
Kata berani disini dalam bahasa Yunaninya adalah tolmaƵ yang menunjuk kepada sebuah tindakan yang dilakukan terus-menerus. Sementara “orang yang tidak benar” adalah adikon yang artinya orang yang berbeda iman dengan orang Kristen. Hal ini berarti bahwa jemaat Korintus telah terus-menerus melakukan tindakan mencari keadilan pada orang-orang yang tidak percaya terhadap perselisihan yang terjadi dalam jemaatnya. Hal inilah yang Paulus kecam.
Saudara,. Dalam ayat 2 terdapat sebuah frasa “tidak tahukah kamu” yang diulang oleh Paulus sampai tiga kali, yakni pada ayat 3, dan ayat 9. Disini Paulus ingin menegaskan bahwa apa yang ia katakan sesungguhnya telah diketahui sebelumnya oleh jemaat Korintus. Paulus berkata: “Jika suatu hari kelak kamu akan menghakimi dunia bahkan malaikat-malaikat akan menjadi sasaran penghakimanmu, bagaimana mungkin kamu bisa pergi dan menyerahkan kasus-kasusmu kepada orang yang tidak percaya dan memuja mereka dengan cara itu? Jika kamu harus melakukannya, ia berkata: “lakukanlah itu di dalam gereja.” Orang-orang tidak percaya telah menjadi hakim bagi orang-orang percaya, padahal orang-orang percaya kelak akan menghakimi dunia dan para malaikat. Bukankah ini suatu kekacauan? Sebagai orang-orang yang akan menghakimi dunia kelak, seharusnya mereka mampu menyelesaikan sendiri perselisihan yang ada dalam kehidupan mereka berjemaat saat ini, namun gereja Tuhan di Korintus gagal melakukannya.
Disini perkara-perkara biasa yang Paulus maksudkan menunjuk pada perselisihan yang berkisar pada hukum sipil seperti perkara mengenai hak milik, pelanggaran kontrak, penipuan, kerusakan-kerusakan, dan pencideraan yang mengakibatkan luka dan bukan hukum kriminal, dimana gereja memiliki hak istimewa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut di dalam jemaat mereka sendiri. Mereka berani mencari keadilan pada orang-orang yang ada di luar jemaat, yakni orang-orang yang tidak percaya.
Merupakan suatu ironi ketika jemaat Korintus menganggap mereka sebagai orang-orang berhikmat, bahkan jemaat Korintus dari kalangan atas yang memiliki pengetahuan tentang hukum sangat tinggi, telah menganggap diri mereka paling berhikmat, namun mereka tidak mampu menyelesaikan perkara yang ada. Untuk itu Paulus menyampaikan pertanyaan retorik, “Tidak adakah orang yang berhikmat di antara kamu?” Jelas ini dikatakan Paulus untuk memalukan mereka, merupakan suatu sindirian yang menyengat terhadap lagak orang Korintus sebagai orang berhikmat.
Saudara, Paulus tidak sedang memberi kesan bahwa pengadilan kafir itu korup. Bagi dia sebagai Warga Negara yang baik, orang Kristen harus mengakui hukum Negara (Rm. 13:1-7). Paulus sendiri menuntut perlindungannya (Kis. 25:16). Tapi minta pengadilan kafir untuk mengambil keputusan hukum atas perselisihan yang terjadi di antara orang beriman adalah suatu pernyataan tentang kegagalan Kristen. Seharusnya perselisihan itu diserahkan kepada orang-orang kudus/jemaat (Mat. 18:17). Jika orang percaya yang mengaku mengenal Allah Yang Maha adil tidak dapat menerapkan keadilan dalam komunitas orang percaya, bagaimana mungkin keadilan dapat diharapkan pada mereka yang tidak mengenal Tuhan? Kegagalan orang percaya menerapkan kehidupan berkeadilan di dalam komunitas, akan meniadakan harapan dunia untuk melihat keadilan itu sendiri. Begitu sentralnya keberadaan orang-orang percaya di tengah-tengah komunitas orang yang belum percaya. Hanya orang-orang percaya yang mengenal keadilan Allah dan yang sanggup menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam jemaat.
Umat Tuhan dipanggil untuk menjadi dewasa dan sama-sama bertumbuh dalam pergumulannya. Keputusan untuk memilih kepada siapa kita menyerahkan perkara haruslah selaras dengan pengenalan kita akan kebenaran Tuhan. Orang tidak percaya mungkin bisa menyelesaikan perselisihan, namun keadilan yang mereka berikan bukanlah keadilan yang seturut dengan kehendak Tuhan. Kepada orang percaya Allah memberikan hikmat untuk mengenal kehendak-Nya dan oleh karena itu mereka sanggup menyelesaikan perselisihan dengan perspektif keadilan Allah karena orang percaya dianggap memiliki kasih dalam menyelesaikan perselisihan.
Saudara, tidak ada seorang pun yang menghendaki hadirnya perselisihan. Setiap kita rindu untuk merasakan suasana damai. Namun ketika perselisihan itu hadir, setiap orang cenderung tergoda untuk mencari kebenaran diri. Kita menjadi begitu egois dan mau menang sendiri tanpa mau perduli perasaan orang yang sedang berselisih dengan kita. Saat-saat seperti itu, kita butuh orang-orang yang memiliki kasih yang bisa menolong kita untuk melihat masalah dengan jernih dan mampu memberi keadilan sesuai dengan kebenaran Allah. Namun hal ini tidak dilakukan oleh beberapa jemaat Korintus.
Bagi Paulus adanya saja perselisihan di antara mereka sudah merupakan kekalahan. Itu artinya orang Korintus telah gagal mengatur komunitasnya untuk menjadi saksi Kristus bagi orang tidak percaya. Seharusnya mereka menjadi teladan bagi orang tidak percaya, dimana orang tidak percaya bisa melihat suatu komunitas yang saling mengasihi dan bebas dari semangat persaingan, sikap mementingkan dan mencari keuntungan sendiri, dan mau menang sendiri. Akan tetapi justru dalam jemaat Korintus, mereka saling melukai dan menindas, mereka memilih pengadilan orang kafir untuk menjadi hakim bagi mereka. Mereka gagal bersaksi, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas orang-orang percaya untuk hidup saling mengasihi satu sama lain.
Di antara mereka telah berlaku tidak adil dan membebankan sesamanya. Mereka membuat sakit hati saudaranya sendiri dengan menjadikan mereka objek pemerasan dan ketidakadilan. Paulus sadar pengaruh dari pengadilan terhadap komunitas jemaat Korintus saat itu. Perkara-perkara hukum telah menumbuhkan sikap cemburu, iri hati, marah, dan kebencian yang sekarang mengancam keberadaan persekutuan Gereja. Ada dua isu yang muncul ke permukaan dalam teks ini. Pertama, konsep Christian Fellowship tidak ada dalam semangat pengadilan Korintus. Bagaimana mungkin seorang Kristen masih bisa memanggil anggota yang lain sebagai saudara dalam Kristus jika dia telah terluka secara moral, emosional, dan financial dalam sebuah perkara hukum? Kurangnya kasih dan kehadiran kebencian tidak akan memungkinkan hadirnya persekutuan Kristen. Ketika yang satu melawan yang lain maka kesatuan tubuh akan terpecah. Kedua, bagi Paulus, kelakuan orang Korintus secara menyeluruh berbeda dengan prinsip Kristiani. Orang Kristen memecahkan perselisihan dan perbedaan mereka melalui mediasi, lebih mengarahkan kepada kesejahteraan komunitas, dan bersama-sama mengupayakan kesaksian yang benar bagi dunia. Jemaat Korintus bukan hanya tidak sedia untuk menderita ketidakadilan, namun mereka malah aktif melakukan ketidakadilan dan menipu sesamanya.
Paulus sangat sadar akan bahaya perselisihan yang terjadi dalam jemaat Tuhan. Ia tahu betul bahwa keinginan yang egois, kepentingan pribadi, dan sikap pilih kasih dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan bergereja. Untuk itu dalam suratnya kepada jemaat Efesus, yakni Ef. 4:1-6, ia menjelaskan tentang pentingnya kesatuan tujuan bergereja yang dapat membantu jemaat mengatasi berbagai perselisihan yang ada tanpa harus mengakibatkan perpecahan. Demikian juga dengan Rasul Petrus. Dalam 1 Petrus 3: 8-9 ia begitu menekankan tentang kasih dan perdamaian yang harus hadir dalam kehidupan umat percaya, termasuk dalam menghadapi perselisihan yang ada.
Saudara-saudara,? Tidak sedikit orang yang kini semakin bingung dalam rangka menemukan dan merasakan kebenaran serta keadilan yang dapat memberikan rasa aman dan damai dalam hidupnya, sebab di jaman ini dilembaga yang sebenarnya diharapkan dapat menegakkan kebenaran dan keadilanpun rasanya sulit menemukan kebenaran dan keadilan itu.
Pemberlakuan hukum sering dirasakan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ketika berhadapan dengan kalangan atas (berkuasa dan berduit).
Surat Paulus ini, menjadi kecaman sekaligus nasihat dalam kehidupan gereja dan umat percaya kini, dalam rangka upaya menghadirkan kebenaran dan keadilan yang dapat menjamin rasa aman dan damai, dimana setiap orang semakin merasakan adanya kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya.
Gereja dan orang percaya hendaknya selalu menjadi tempat dimana kebenaran dan keadilan itu dapat di temukan, dirasakan dan dinikmati, semoga. AMIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar