Selasa, 17 September 2013

PLURALISME AGAMA

(dan Fenomena Sosial-Politik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia)

 artikel:
Oleh: Yong Ohoitimur MSC
Judul di atas mengasumsikan fakta pluralitas agama-agama dan berbagai fenomena sosial-politik dalam kaitan dengan pluralitas agama tersebut. Sebutkan sebagai contoh, masalah sulitnya mendirikan rumah ibadat, masalah penangkapan terhadap mereka yang dituduh beraliran sesat, isu kristenisasi dan islamisasi, masalah kekerasan atas nama pemurnian agama, masalah legislasi yang berhaluan keagamaan, masalah politisasi agama, dan seterusnya. Menghadapi kompleksitas masalah-masalah itu, timbul dua pertanyaan yang mendesak untuk didiskusikan. Apa yang menjadi akar masalah pluralisme di Indonesia? Bagaimana membangun Indonesia yang masyarakat dan lingkungannya sangat plural?.
Berkaitan dengan pertanyaan pertama, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) melakukan analisis yang tajam tentang hubungan “agama dan negara”. Walaupun hubungan agama dan kekuasaan berbeda dari satu agama ke agama yang lain baik dalam praktek maupun dalam doktrinnya, namun pengalaman menunjukkan bahwa agama dan kekuasaan negara sulit dilepaskan. “Agama menjadi inti kekuasaan dan kekuasaan menjadi inti agama” (hlm. 532). Pandangan ini perlu kita periksa dalam realitas komunitas agama masing-masing.
Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Teoritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992) menjelaskan bahwa para pemimpin agama dalam Islam menurut hakikatnya tidak memiliki otoritas atas siapa pun. Mereka hanya memiliki wewenang keilmuan agama, karena itu suara mereka dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan kualitasnya tergantung pada tingkat pengetahuannya. Singkatnya, dalam Islam seorang ulama memiliki independensi yang utuh. Namun pandangan tersebut tentu saja berbeda dari komunitas Islam yang satu dengan komunitas Islam yang lain. Bernard Lewis dalam Bahasa Politik Islam (1994) menulis bahwa “Islam adalah agama yang sejak awal pertumbuhannya mengalami sukses luar biasa di bidang politik. Sejak semula Islam adalah agama para penguasa, atau agama yang mempunyai kekuasaan” (terkutip dalam Dhakidae, hlm. 533). Pengalaman di negerri kita sendiri bahwa penguasa selalu membutuhkan dukungan politik dari para ulama dan kaum santri.
Dalam bukunya Kebenaran yang HIlang (aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah) dengan sub judul Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (2007) Farag Fouda (Faraj Faudah), seorang pemikir Mesir berhaluan sekuler, mengambil posisi melawan konsep ideologis para ulama Islam Mesir yang membela politik Islam. Pokok yang diperdebatkan adalah hubungan agama dan politik, penerapan syariat Islam, dan institusi khalifah. Fouda tidak menentang argumen kubu lawannya dengan cara membongkar sisi kelam praktek politik dan kekuasaan dalam sejarah Islam sendiri. Ia, misalnya, menunjuk betapa sejarah politik sesudah Nabi sarat dengan jelek yang yang memalukan, bahkan tidak berperikemanusiaan. Sebagai salah satu contoh ia merujuk pada pembunuhan Usman bin Affan karena pertikaian politik antarsahabat Nabi. Jenazahnya ditolak dimakamkan di pekuburan Muslim, itu pun terjadi tiga hari sesudah kematiannya. Proses pemakaman Usman diselingi hujatan dan tindakan tak terpuji seperti meludahi jenazah, bahkan salah satu persendian mayat Usman dipatahkan. Di mata Fouda, fakta seperti itu menunjukkan hilangnya semangat ijtihad dalam berpolitik. Tentang kubu lawannya, ia menulis, “Mereka tetap berteriak atas nama Islam dengan sesuatu yang merendahkan Islam. Akibatnya Islam dianggap sebagai agama kaum fanatis, padahal ia adalah agama kaum lapang dada… Mereka memantulkan patologi-patologi kejiwaan yang mereka idap sendiri kepada Islam, sesuatu yang kita tolak atas nama agama pula dan selaku umat Islam” (hlm. 36 – 37). Pesan kuat dari pemikiran Fouda, yaitu apabila praktek politik merujuk kepada agama dan sejarahnya, baiklah keberpihakan politik dengan basis agama itu tidak menyembunyikan sisi kelam dari agama dalam politik. Agama wajib menyuntikkan kebenaran historis dan ideal bagi cara berpolitik. Karena moral dan spiritualitas agama itu bagaikan roh yang menghidupkan politik yang sejati.
Dalam sejarah Gereja Katolik, tercatat bahwa Konsili Lateran V (1215) menetapkan sistem pemerintahan teokratis. Dengan itu Gereja menggenggam dua kekuasaan sekaligus, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Implikasinya, agama Katolik dipaksakan menjadi agama negara, dan seorang pemimpin negara, seperti raja dan kaisar, harus mendapatkan restu dari Paus di Roma. Kekuasaan kepausan sendiri dipandang berasal dari delegasi ilahi, sementara pemerintah monarki dilegitimasi dengan hukum ilahi. Dengan teokrasi, gereja mengontrol semua bidang kehidupan. Paus pun tak ragu-ragu menjatuhkan hukuman bagi siapa saja, termasuk bagi seorang ilmuwan seperti Galileo Galilei.
Ketika dalam abad ke-18 pecah Revolusi Perancis, secara tak terhindarkan gereja ikut terseret ke medan pertikaian politik. Humanisme dan kebebasan yang sudah berkecambah sejak masa Renaissance (abad ke-15) menjadi nilai-nilai hakiki di era revolusi dalam wujud demokrasi. Akibatnya, Gereja mesti memihak gerakan restorasi monarki yang dianggap lebih melindungi hukum ilahi. Seruan Gereja untuk kembali kepada Tuhan, bukan manusia, dengan sendirinya menyiratkan penolakan terhadap demokrasi. Sejarah Prancis mencatat bahwa suasana keruh hubungan Gereja dan negara, agama dan politik, berlangsung tak kurang dari dua abad lamanya. Untunglah Gereja Katolik mampu belajar dari pengalamannya. Bahwa agar manusia dihormati martabat luhurnya, dan agar Gereja tetap komit dengan misi pewartaan Injil, maka Gereja harus perlu mengakui otonomi negara dalam berpolitik. Konstitusi  Pastoral Gaudium et spes [Konsili Vatikan II] 1965 akhirnya secara defenitif meninggalkan sistem teokrasi dan mendudukkan diri sebagai mitra pemerintah dalam melayani kesejahteraan umum. “Pro bono publico” (demi kebaikan umum) menjadi jiwa pengabdian yang mempertemukan Gereja dan negara, agama dan politik, karena hakikat moral dan spiritualnya niscaya terkoyak. Sebaliknya, janganlah negara memanfaatkan agama dan simbol-simbolnya sebagai instrumen politik, karena hal itu akan mendangkalkan praktek beragama menjadi formalitas yang superfisial.
Gerakan Reformasi Gereja-gereja Protestan yang dilakukan oleh Martin Luther dan John Calvin dengan benar mengkritik “kolusi suci” Gereja Katolik dan kekuasaan politik di abad pertengahan sejarah Eropa. Dari kalangan Gereja Katolik sendiri reformasi spiritual dilakukan oleh Fransiscus dari Asisi (1182-1226) sebagai protes terhadap kolusi tersebut dengan mengatakan bahwa Gereja harus kembali kepada tugas spiritualnya. William dari Ockham (1285-1346), seorang imam Fransiskan, juga melancarkan kritik dengan argumen bahwa negara memiliki otonomi mengurusi politik, dan tidak membutuhkian otoritas apa pun dari Paus di Roma. Artinya, sebelum Reformasi Protestantisme, sudah dilakukan upaya-upaya pembaharuan internal Gereja dalam kaitan dengan kekuasaan politik.
Sejarah Gereja-Gereja Kristen di Indonesia mencatat bahwa masuk dan berkembangnya Gereja di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari “hubungan baik” dengan pemerintah kolonial. Penguasa VOC pernah melarang para imam Katolik bekerja di Sulawesi Utara, sebaliknya memberikan keluasan kepada misi Protestan yang mewartakan Injil. Hal yang sama berlaku di Maluku. Pengalaman hubungan Gereja dan kekuasaan Orde Baru juga menarik untuk direfleksikan.
Namun yang lebih relevan dan mendesak untuk dikaji sekarang adalah pengalaman komunitas Gereja lokal sekarang dengan pemerintah. Sebuah contoh yang menarik dapat diambil dari kalangan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Dalam berbagai forum, kalangan muda dan pendeta GMIM melakukan otokritik yang sehat, bahwa Gereja terlalu dekat dengan pemerintah, dan politik terlalu kuat mewarnai penyelenggaraan kewenangan dalam Gereja. Walaupun tidak selalu kelihatan, tetapi “kedekatan” itu berdampak pada kebijakan publik yang pada giliranya dialami oleh komunitas agama lain sebagai diskriminasi.
Teori tentang good governance mengajarkan satu hal yang penting. Penguatan demokrasi terjadi seiring dengan pergeseran dari “government” ke “governance”. “Govern-ment” dan “Governance” sama-sama terkait dengan cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi administrasi, dst dalam rangka kepentingan umum suatu bangsa atau negara. Namun “government” berarti sistem di mana unsur pemerintah dominan dalam  menyelenggarakan kekuasaan politik. Dalam konteks itu, agama-agama merasa harus mendekatkan diri kepada kekuasaan untuk turut berpartisipasi demi kepentingannya. Pada “governance” penyelenggaraan kehidupan bersama tergantung pada tiga pilar, yaitu negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market).
1.   Negara (state, government) terdiri dari badan eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, polisi, dan mereka yang bertugas memberikan public service. Negara berfungsi menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; mengurus standar kesehatan; pendidikan dan standar keselamatan publik.
2.        Masyarakat meliputi organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, komunitas-komunitas agama, media massa, dsb. Masyarakat berperan mengontrol negara dan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana cheks and balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan SDM; sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Sedangkan,
3.    Pasar/Dunia Usaha terdiri dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM), korporasi nasioal/internasional, lembaga keuangan, dsb. Dunia Usaha bertugas menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; transfer ilmu pengetahuan dan tekhnologi kepada masyarakat; menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.
Dilihat dari teori tersebut, yaitu dalam perspektif “good governance” agama mengambil posisi dalam civil society dan antara lain menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Peranan agama ini akan semakin seimbang, dalam arti tidak menempel dan berpengaruh buruk terhadap kepentingan umum, apabila demokrasi semakin ditumbuhkan sehingga partisipasi, rules of law, transparansi dan akuntabilitas (=prinsip-prinsip good governance) semakin dipraktekkan. Dalam perspektif itu, dibutuhkan gerakan untuk memberdayakan good governance dalam institusi negara dan masyarakat.
Akhirnya, kemajemukan masyarakat Indonesia menuntun negara Indonesia kembali pada dasar negara, Pancasila, seperti yang diletakkan oleh founding fathers. Pancasila perlu dikembalikan sebagai dasar negara yang nilai-nilainya menjadi rujukan semua produk hukum di Indonesia. Hanya dalam bingkai Pancasila kita memiliki keseimbangan antara ruang kebebasan publik bagi setiap orang dan individu warga negara dan “privacy” masing-masing komunitas agama untuk mengurusi dirinya.
Kesimpulan, kita membutuhkan tiga hal. (a) Refleksi dan kajian mengenai pengalaman hubungan komunitas agama dengan kekuasaan negara (politik) untuk menentukan seberapa jauh kita sendiri menjadi penghambat pluralisme di negeri ini. (b) Good Governance dapat merupakan bingkai yang mendudukkan agama dalam posisi yang sehat terhadap negara (politik). (c) Pancasila sebagai dasar negara Indonesia perlu dikembalikan sebagai bingkai ideologi yang memberikan ruang bagi agama-agama untuk bereksistensi menurut hakikatnya; Pancasila juga perlu dikembalikan sebagai rujukan peraturan-peraturan hukum negara.
(Penulis: STF. Seminari Pineleng Manado)

Indonesia dan Pluralisme


Saat kita diajukan sebuah pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari 300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak. Dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia dengan beragam hasil kebudayaannya menjadikan tantangan dalam menciptakan sebuah integrasi sosial. Dengan struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangatlah terbuka bagi Indonesia untuk selalu menghadapi konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit membangun integrasi secara tetap. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanaman konsep pluralisme.

Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.

Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores ), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.

Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.

Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai negara berkembang, yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.

Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas, mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya.

Realita Tak Semanis Kerangka

Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang memprihatinkan.  Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk diatasi.

Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.

Ditengah kerangka nation building, Indonesia mendapat tantangan dari kepluralisme-an yang disandangnya. Setelah selama lebih kurang satu abad “proyek” nation building diselenggarakan, nyatanya masih belum tuntas juga. Stabilitas sosial dan politik yang relatif terpelihara sepanjang pemerintahan orde baru sempat menimbulkan keyakinan bahwa proyek pembangunan bangsa (nation building) nyaris usai. Namun saat ini proses nation building tengah berbalik arah. Demokratisasi dan desentralisasi pascareformasi ternyata tidak memperkuat sentimen kebangsaan, tetapi justru membuka ruang bagi munculnya kembali sentimen-sentimen antipluralisme. Pancasila, yang sebelumnya dipercaya sebagai sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna.

Hilangnya satu faktor kuat yang dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif bangsa atau pemersatu bangsa menjadi masalah krusial. Sesekali perasaan menjadi satu muncul, seperti saat beberapa atlet negeri memenangkan kejuaraan internasional, tsunami di Aceh, atau ketika Malaysia “merampas” pulau dan budaya Indonesia. Namun semua itu hanya letupan api sesaat yang mudah hilang. Pada momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik oleh konflik horisontal antarkelompok, seperti saat pemilu. Pluralisme yang terkait dengan karakter dan jatidiri bangsa, dalam realitas aktual juga menunjukkan suatu “kebangkrutan moral” diberbagai bidang : korupsi, mafia hukum, tawuran dan kemunafikan dalam politik. Hal ini tidak relevan untuk mengacu pada tata nilai tradisional yang dianut oleh etnik nusantara dengan sikap dan tatakrama terhadap sesama dan lingkungan.

Hal-hal diatas membuat rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap negara. Keberpihakan yang rendah dari elite-elite terhadap nasib rakyat menjadi pemicunya. Di tengah krisis kepercayaan ini, rakyat mencari perekat alternatif yang dapat menimbulkan rasa aman. Repotnya, pengalaman yang mereka temukan bukanlah berskala nasional, tetapi lokal atau partikular. Agama, bahasa, etnisitas, dan lokalitas adalah simbol-simbol yang mereka pandang lebih konkret ketimbang simbol-simbol nasional, seperti Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Identitas pluralisme tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan kehidupan sehari-hari, cepat membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor pendorong gerakan massa, bahkan revolusi.

Pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa juga masih menyisakan rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang ataupun Perda bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling sensitif ketika membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks pluralisme tidak hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Sepanjang 2011, menurut data yang dihimpun oleh Center for Religious and Cross-curtural Studies (CRCS) dan beberapa pemberitaan media massa, setidaknya ada 36 kasus yang diduga berlatar belakang agama terjadi di 14 provinsi di Indonesia. Angka tersebut hanya menunjukan permasalahan ibadah belum mencakup semua permasalahan yang dipicu oleh mispresepsi dan miskomunikasi antar umat beragama (Republika, 2012). Pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam berbeda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, ataupun dengan Hindu. Hal itu tidak bisa disamakan. Tak cukup kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki pandangan keagamaan lain, situasi diperparah dengan munculnya berbagai RUU dan Perda yang menafikkan keragaman sosio-kultural-religius masyarakat. Padahal dalam perundang-undangan nasional ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan agama tidak dapat dijadikan hukum tertulis. Dalam hukum, ketiganya disebut sebagai norma otonom. Jika diformalkan, berarti negara mencampuri urusan privat warganya.

Kesenjangan dan sakralisasi pembangunan yang dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya telah melahirkan banyak korban. Uniformalitas terhadap budaya lokal dengan dalih kesatuan dan persatuan adalah contoh yang nyata. Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru tidak mendudukan pembangunan dengan konteks lokal, pembangunan hanya berorientasi pada pusat, sehingga kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan oleh daerah. Perubahan paradigma kekuasaan sentralis menjadi paradigma kekuasaan berbasis daerah (desentralis) melalui kebijakan otonomi daerah memberikan nafas baru dalam upaya membangkitkan kembali modal sosial berupa spirit lokalitas yang telah lama hilang. UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian UU No.32 Tahun 2004 membawa misi penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang sudah lama termarjinalkan pusat, serta membingkai kembali masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun pada kenyataannya sejak era reformasi, justru kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Permasalahan antaragama seperti dibahas sebelumnya, ras dan suku menjadi contohnya.

Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia ternyata malah memberi kecenderungan penguatan aspek-aspek antipluralisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda. Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah pemerintah selalu di hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban; Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang politik dan aspirasi masyarakat secara luas.

Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan  dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi nasional). Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dengan  demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan Integrasi Nasional.

Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap “kambing hitam”, mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial. Bung Karno pernah berkata bahwa dari lima sila Pancasila jika diperas maka akan menjadi Tri Sila yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Dari Tri Sila tersebut jika diperas lagi maka akan menjadi satu perkataan yaitu gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari semua sila Pancasila. Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan, namun semua itu harusnya tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam membangun bangsa.

Mempertahankan dan Menghargai Pluralisme

Sebenarnya konsep multikulturalisme sangat cocok diterapkan. Konsep ini adalah dengan mempertahankan identitas masing-masing, tetapi dengan tambahan pengembangan nilai saling menghargai secara alamiah. Sejak jaman Soekarno dengan pendekatan romantika nasionalismenya sampai pada Soeharto dengan konsep disiplinnya belum ada yang menunjukkan hasil positif terhadap kemajemukan negara ini. Adanya arus globalisasi, menjadikan masyarakat ini berkembang sangat cepat, dengan adanya gerakan demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan gerakan lain yang menjunjung tinggi keanekaragaman. Peluang global semacam ini ditangkap baik oleh kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia dan justru memperkuat identitas masing-masing. Pemikiran pluralisme justru kuat dimasa lampau ketika negara berkuasa penuh, sehingga politik keseragaman itulah yang tertanam dalam masyarakat. Namun kini dengan adanya demokratisasi, maka terbuka peluang bagi mereka untuk menyatakan dirinya masing-masing.

Kembali ke konsep Soekarno tadi, Pancasila. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan suatu keharmonisan antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu. Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif, memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralis, tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Semboyan tersebut masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi sesuatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari seiring dengan kebangkitan negeri untuk kerangka pembangunan bangsa.

PLURALISME DAN TRANSFORMASI AGAMA

(Sebuah Sketsa dilematis)
 oleh: Pdt Lucky Rumopa STh

Secara kasat mata pengertian Pluralisme lebih menunjukan pada “beragam-paham” dalam berbagai dimensi hidup, namun istilah ini lebih kuat menunjuk pada “ajaran” atau sebuah keyakinan manusia dimana ada interaksi social yang mau tidak mau menerima segala perbedaan itu. Dalam ilmu social lebih menujuk pada hubungan hubungan yang saling menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Pluralisme adalah paham bersama dari berbagai perbedaan untuk dapat menerima satu dengan yang lain sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan sebagai mahkluk social. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. nah disini barangkali kita bisa melihat posisi pluralistis merupakan partisipasi positip dalam pengembangan ekonomi,politik dan pembangunan masyarakat yang maju. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi disatu sisi, Dunia komunikasi dan tekhnologi sains mulai merambat sejak terluncurnya era mellenium ke-3 dengan perubahan tersebut kehidupan manusia mengalami kemajuan dalam sandi-sandi kehidupannya kita sering menilai secara langsung yang sangat nampak pada era sekarang ini dari segala sektor kebutuhan umat manusia sudah berjalan dengan proses yang serba instans segala aktivitas mudah terampung dengan hadirnya dunia tekhnologi yang semakin terkemuka contohnya komunikasi dan media informasi yang mudah sekali kita temui di tengah pusaran kehidupan masyarakat tak kalah menarik juga transportasi sebagai kebutuhan yang dominan untuk menunjang kemakmuran para masyarakat.

Dengan hadirnya perangkat tekhnologi semua instansi dan element masyarakat menjadi praktis sehingga realitas yang paling dominan dari posisi positifnya behwa perkembangan ilmu pengetahuan(science) dan juga tekhnologi melalui sarananya bisa menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya terasa transparan dan dari sisi negatifnya telah menybabkan kegelisahan dan juga keterpurukan yang luar biasa atas imbas kemajuan dari ilmu pengetahuan(science) dan tekhnologi tersebut. Berbagai aspek bisa di akses dan menghantam dinding dinding moral yang di bangun dalam batasan batasan agama.

Pluralisme diantara “isme”
Fenomena plural dalam sistim social mengikat manusia menjadi saling berketergantungan dan sebenarnya memberi sumbangsih yang positip bagi perkembangan hidup. Di Negara-negara barat sosialisme diartikan sebagai pendistribusian kekayaan secara lebih merata. Di Negara-negara berkembang sosialisme ditafsirkan sebagai pembangunan ekonomi dan industry dengan maksud menaikkan tingkat hidup dan pendidikan masyarakat. Robert Owen (1771-1858) memprakarsai gerakan koperasi yang menyokong organisasi serikat dagang yang tersebar di seluruh Inggris dan Skotlandia. Owen yakin bahwa koperasi produsen dapat menciptakan tata masyarakat yang baru. Perkembangan sosialisme di berbagai Negara disesuaikan dengan tradisi Negara yang bersangkutan. Dengan demikian terjadi pula perbedaan penafsiran tentang sosialisme dan pluralitas dijadikan tandem kekuasaan rezim dan politik. Kemudian pluralitas berhadapan dengan nasionalisme,Paham ini berasal dari Eropa barat lalu menyebar keseluruh Eropa pada abad ke19 dan pada abad ke20 tersebar ke seluruh dunia. Hans Kohn menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara dan bangsa. Paham ini merupakan suatu kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern. Lothrop Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang hidup dalam hati rakyat yang berkumpul menjadi satu bangsa. Setelah perang dunia kesatu, nasionalisme merupakan persoalan upaya menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa sebagai akibat dari meningkatnya paham fasisme dan sosialisme. Sesudah perang dunia kedua, nasionalisme ditandai dengan munculnya revolusi kemerdekaan dalam bentuk perlawanan terhadap imperialism dan kolonialisme di Amerika Latin,Asia,Afrika. Kemampuan untuk memahami nasionalisme dapat terlihat dari symbol-simbol nasionalitas seperti bendera dan lagu kebangsaan, symbol symbol tersebut mengikat perbedaan perbedaan dalam sistim social.yang pada akhirnya membentuk patron-patron yang bersifat partikulairistik dengan sentiment golongan satu dengan partai yang lain. Pluralisme dalam perkembangan mengalami distorsi ketika Patron-partikularisme membentuk paham liberalism yang kuat didalam sebuah “nation’ . John Locke dianggap sebagai pelopor paham politik liberal. Menurut Locke, Negara terbentuk dari perjanjian social antara individu yang hidup bebas dan penguasa. Sedangkan menurut versi lain mengenai paham politik liberal dikemukakan oleh Montesquieu (1689-1775). Dalam bukunya The Spirit Of Law, mengemukakan teori pemisahan kekuasaan: eksekutif, legislative, dan yudikatif. Setiap kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi satu dan yang lain. apabila ketiga kekuasaan pemerintah berada dalam satu tangan, baik individu maupun lembaga, kesewenangan akan muncul. Perkembangan liberalisme di bidang ekonomi dikenal dengan ekonomi liberal. Prinsipnya berasal dari tulisan Adam Smith,David Ricardo, dan Robert Malthus. Mereka mengembangkan paham bahwa individu memiliki kebebasan untuk mengembangkan kekuatan dan bakatnya dalam berusaha. Oleh karena itu, liberalism menolak campur tangan pemerintah dan membenarkan konsep perdagangan bebas. Liberalism dapat pula dibedakan atas liberalism lama dan liberalism modern. Liberalism lama lebih memperhatikan kebebasan individu dari kesewenang-wenangan pemerintah. Liberalism yang modern mencari perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang organisasi swasta dan Negara.

Pluralisme dalam agama.
Istilah ini merupakan sesuatu yang khusus dalam kajian agama agama, Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama¬ agama (religious studies). Tantangan terbesar yang diakibatkan oleh kaum orientalis diantaranya juga dalam bidang studi agama-agama, dengan mengembangkan epistemology relativisme dalam memandang kebenaran agama-agama. Memahami pluralisme agama pun harus memiliki metode yakni ; pendekatak teologis normative,antropologis,sosiologis, filosofis,historis,cultur dan phsikologis. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Menurut Heldred Geertz, di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri, bahwa "pluralisme" merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam "pluralisme" dan merupakan bagian dari "pluralisme" itu sendiri. Tak pelak, pluralitas agama juga merupakan tantangan tersendiri bagi agama-agama dunia dewasa ini. Oleh sebab itu, jika pluralitas agama tidak disikapi secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama, maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik.subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. bahwa perbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. pluralitas agama merupakan keniscayaan. Dengan demikian, dalam konteks ini sedikitnya terdapat dua problem yang dihadapi oleh pemeluk agama dalam menghadapi tantangan agama ke depan: pertama, adalah problem pemahaman ajaran agama, dan yang kedua adalah problem politisasi agama.

Transformasi Agama.
budayawan politik, Albert Widjaja yang menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik yang terdiri dari sistem nilai-nilai seperti ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Masyarakat mengakui sistem nilai tersebut, sebagian atau keseluruhannya. Latar belakang pemahaman terhadap budaya politik akan memberikan penilaian logis untuk menolak ataupun menerima nilai lain atau baru. Lebih lanjut, Widjaja menyandingkan konsep budaya politik dengan idelogi, yang berarti sikap mental, pandangan hidup, dan struktur pemikiran. Budaya politik merupakan kesatuan pandangan di dalam masyarakat, sedangkan pandangan individu yang khusus masih perlu dipernyatakan keberlakuannya. Letak agama disini sebagai media untuk membentuk keseragaman pandangan di dalam masyarakat yang nantinya dalam sistem politik Indonesia akan menjadi penguat dan unsur dalam demokratisasi di Indonesia. Salah satu dengan adanya demokrasi lokal. Mengingat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia berupa pedesaan dalam pengembangan demokrasi nasional. Transformasi adalah peruabahan rupa, bentuk, sifat, dan fungsi. Dikatakan bahwa peran agama dalam demokrasi lokal telah ditransfomasikan menjadi sebuah wujud baru dan salah satu unsur dari demokratisasi sistem politik di Indonesia. Transformasi praktek-praktek keagamaan di tingkat lokal, secara langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik penguasa. bahwa dalam demokrasi lokal terdapat sebuah transformasi peran agama yang menjadikan sifat, bentuk dan fungsi agama berubah menjadi penguat serta pelindung dari kekuasaan politik. Namun hal itu tentu memberikan corak baru tentang bagaimana demokratisasi di Indonesia bila peran agama menjadi salah satu aktor dalam menentukan rasa nyaman dan makmur dalam berbagai perbedaan yang ada. Tetapi definisi pluralism agama telah menimbulkan polemik panjang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, mengingat agama agama memiliki kedudukan dan cara pandang sesuai dengan keyakinan masing masing terhadap perubahan dan perbedaan itu sendiri.
(Penulis adalah Pdt.GMIM)

Keabadian Cinta


Bagi yang tidak percaya dengan keabadian cinta, sebaiknya mendengar cerita ini. Setelah menunggu selama 30 tahun, sepasang kekasih dari Korea Utara dan Vietnam akhirnya bersatu dalam pernikahan. Tiga dasawarsa bukanlah waktu yang pendek, tapi mereka berhasil menjaga kesucian cinta mereka dari seberang lautan.
Kisah cinta ini bermula saat seorang mahasiswa kimia asal Vietnam pergi ke Korea Utara pada 1971 untuk belajar. Mahasiswa muda itu, Pham Ngoc Canh, jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita yang sekilas dilihatnya melewati pintu laboratorium di Hamhung, tak jauh dari Pyongyang. Pham pun nekat menemui Ri Young-Hui. Mereka lalu bertukar hadiah, Pham memberi foto dan Ri memberikan alamat yang ditulis di sobekan kertas. Mereka bertemu diam-diam dan berpisah diam-diam. Pham memberitahu ibu Ri agar memaksa putrinya menikah dengan pria lain saja karena mereka berdua tidak mungkin dipertemukan.
Rezim Korea Utara melarang warganya berhubungan dengan orang asing, meski dari negara komunis seperti Vietnam. Ri menolak saran Pham dan ibunya untuk menikah dengan pria lain. Bahkan ketika Pham pulang ke Hanoi karena tugas belajarnya selesai, Ri berusaha bunuh diri. Pham pun akhirnya bertekad untuk memperjuangkan cinta mereka. Dibantu oleh ibu Ri, kedua kekasih ini menjalin hubungan hanya lewat surat selama 20 tahun tanpa pernah bertemu sekalipun. Surat terakhir diterimanya pada 1992. Mengetahui Ri tak mungkin memperjuangkan persatuan merekakembali, Pham pun mengambil inisiatif untuk selalu mengusahakan pertemuan mereka kembali. Sebagai seorang penerjemah tim olahraga nasional, Pham beberapa kali mengunjungi Korea Utara. Kesempatan ini selalu digunakannya untuk menghubungi Ri. Namun, usahanya selalu gagal.
Orang-orang di Korea Utara selalu mengatakan, Ri telah menikah atau meninggal, tapi Pham lebih percaya kesejatian cinta Ri ketimbang omongan orang-orang. Ia menolak untuk percaya telah kehilangan kekasihnya. Pham juga pernah berusaha melunakkan kakunya birokrasi dengan membawa 40 surat cinta dalam bahasa Korea yang dikumpulkannya selama 20 tahun itu ke Kedutaan Besar Korea Utara di Hanoi. Ia berharap mereka mau membantu. Namun usaha ini, seperti perjuangan sebelumnya, menemui ketidakpastian.
Tahun-tahun terus berlalu dan rambut mereka sudah mulai beruban, namun cinta mereka tak juga pupus. Tahun lalu, Pham melakukan usaha terakhirnya saat ia mendengar delegasi politik Vietnam berkunjung ke Pyongyang. Ia kemudian menulis surat kepada Presiden dan Menteri Luar Negeri Vietnam. Usahanya kali ini tak sia-sia.

Berantas Mafia Hukum

10 Anjuran Membantu Memelihara Gambar Diri


✪ 10 ANJURAN MEMBANTU MEMELIHARA GAMBAR DIRI ✪

Sepuluh anjuran untuk membantu mengembangkan & memelihara gambar diri yang sehat
1. Bencilah dosamu, tapi jangan pernah membenci dirimu.
2. Cepatlah untuk menyesali kesalahan.
3. Apabila Tuhan memberimu terang, berjalanlah di dalam terang-Nya itu.
4. Berhentilah mengatakan hal-hal yang buruk tentang dirimu sendiri. Tuhan mencintaimu dan tidaklah benar jika kamu membenci sesuatu yang Dia cintai. Dia mempunyai rancangan-rancangan yang indah bagimu, jadi kamu melawan-Nya jika kamu berbicara secara negatif mengenai masa depanmu sendiri.
5. Janganlah takut untuk mengaku bahwa kamu telah berbuat kesalahan, tapi janganlah selalu berprasangka bahwa kamulah yang salah setiap saat ada yang tidak benar.
6. Jangan terlalu memikirkan apa yang sudah kamu lakukan, baik yang benar maupun yang salah; itu sama dengan memikirkan terus diri sendiri! Pusatkanlah pikiranmu kepadaNya!
7. Jagalah dirimu sendiri secara fisik. Manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya apa yang Tuhan telah berikan padamu demi tugasmu, tapi janganlah menjadi terobsesi dengan penampilanmu.
8. Janganlah berhenti untuk belajar tapi jangan sampai ilmu itu membuat kamu sombong. Tuhan memakai kamu bukan karena apa yang ada di dalam kepalamu melainkan karena apa yang ada di dalam hatimu.
9. Sadarilah bahwa setiap talentamu adalah anugerah, bukanlah sesuatu yang kamu ciptakan sendiri; jangan pernah merendahkan orang lain yang tidak sanggup melakukan apa yang kamu dapat lakukan.
10. Janganlah meremehkan kelemahan-kelemahan dirimu. Merekalah yang membuat kamu tetap tergantung pada Tuhan.

Salam Kasih,

Senin, 16 September 2013

Perceraian Menurut Alkitab

Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komimen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).

Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir Alkitab yang memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan.” Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.

Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan kalau terjadi perzinahan. Hubungan seksual adalah merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Jika demikian, dalam ayat ini, Yesus juga memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa “kawin dengan perempuan lain” (Matius 19:9) mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan kembali diizinkan dalam kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu ditafsirkan. Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb, izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Mungkin saja ada contoh-contoh di mana “pihak yang bersalah” diizinkan untuk menikah kembali, namun konsep tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.

Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan pasangan yang percaya. Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai. Orang-orang lainnya mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk menebak Firman Tuhan.

Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka. Tuhan telah terlebih dahulu mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35). Menikah kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan.

Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya. Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32). Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya. Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal yang baik.